Selasa, 26 Mei 2009

Depdiknas Harus Akui Gagal Sediakan Buku Pelajaran

Rabtu, 26 Juli 2008 | 08:00 WIB







JaKARTA, SABTU -
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, diminta berjiwa besar dan berani mengakui gagal dalam penyediaan buku pelajaran yang tidak membebani masyarakat. Kegagalan pemerintah untuk mengatasi persoalan buku pada setiap tahun ajaran baru jangan dialihkan kepada guru atau penerbit.

”Banyak aturan soal pendidikan dan guru yang dilanggar pemerintah meskipun sudah ada undang-undangnya. Tetapi, pemerintah selalu mengambinghitamkan guru. Kami tidak ikhlas jika persoalan buku mahal semata-mata dialihkan kepada guru yang dinilai kolusi dalam pengadaan buku untuk siswa di sekolah tertentu,” kata Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/7).

Pemerintah, kata Sulistiyo, tutup mata terhadap persoalan mahalnya buku dengan tetap tidak membebaskan pajak kertas untuk buku pelajaran. Gembar-gembor program e-book pemerintah juga tanpa perhitungan matang karena masyarakat tidak dapat mengakses buku teks online atau versi cetaknya dengan mudah.

Menurut Fitriani Sunarto, Koordinator Kelompok Independen untuk Advokasi Buku (Kitab), selama ini buku pelajaran sering dianggap sebagai bagian yang terpisahkan dari pelayanan pendidikan. Ketika pemerintah mengumumkan pendidikan gratis, buku pelajaran tidak disubsidi secara penuh.

Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan buku sebagai bagian dari pelayanan pendidikan dan pemerintah berkewajiban menyediakan buku teks bagi semua mata pelajaran di sekolah.

”Kenyataannya malah sebaliknya. Dana bantuan operasional buku justru dipotong. Padahal, buku itu, setidaknya di tingkat pendidikan dasar, harus disediakan secara gratis untuk setiap siswa di sekolah,” papar Fitriani.

Program e-book pun dinilai tidak tepat sasaran. Di Indonesia penyerapan pengguna internet baru mencapai tujuh persen. Buku-buku digital yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah hanya dapat dinikmati para siswa yang memiliki akses ke internet, yang kebanyakan berasal dari golongan keluarga berada di perkotaan.

1.097 pengaduan

Secara terpisah, di Jakarta, Tim Pembinaan Aparatur (Binap) dan Verifikasi Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta menerima 1.097 pengaduan dari masyarakat, sebagian besar soal penjualan buku di sekolah. Tim Binap juga sudah memeriksa 28 kepala sekolah yang diduga menjual buku pelajaran di sekolah kepada murid-muridnya.

Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Sukesti Martono mengatakan, laporan dari masyarakat melalui layanan pesan singkat sangat beragam, mulai dari saran, pertanyaan, sampai aduan soal paksaan membeli buku di sekolah. Bahkan, ada orangtua siswa yang mengadu dipungut Rp 10.000 untuk biaya perpisahan. ”Kami akan mengklasifikasikan aduan dan bakal menindak setiap pungutan liar di sekolah, sekecil apa pun jumlahnya,” katanya.

Menurut dia, membeludaknya laporan masyarakat membuat jumlah kepala sekolah yang bakal diperiksa bertambah. (ELN/ECA/PIN)



Sumber : Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar