Selasa, 26 Mei 2009

Evaluasi Pendidikan Tahun 2001


http://www.pikiran-rakyat.com/prcetak/022002/05/0802.htm
PR. 05 Februari 2002


Oleh Prof Dr H MOHAMMAD FAKRY GAFFAR MEd

TAHUN 2001 ditandai oleh berbagai dinamika, perubahan dan pergeseran dalam
kebijakan pendidikan nasional beserta implementasinya yang akan menentukan
masa depan negara dan bangsa Indonesia, termasuk masa depan pendidikan
nasional. Boleh dikatakan tahun 2001 merupakan saat yang sangat menentukan
bagi masa depan Indonesia umumnya dan dunia pendidikan khususnya. Sejak
terjadinya reformasi tahun 1998 yang dipicu oleh krisis ekonomi mulai tahun
1997, pada tahun 2001 terjadi pergantian pucuk pemerintahan di Pusat. Ini
merupakan kali ketiga sejak berakhirnya era Orde Baru, yaitu pemerintahan
Presiden B.J. Habibie tahun 1998-1999, Presiden Abdurrahman Wahid tahun
1999-2001, dan Presiden Megawati mulai tahun 2001 hingga sekarang.

Dalam bidang pendidikan, tahun 2001 mencatat banyak perubahan penting yang
mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia. Tinjauan ini memilih tiga topik
utama yang mendominasi pendidikan dan menyita banyak perhatian masyarakat
dan dunia pendidikan selama tahun 2001, yaitu; 1) dimulainya pelaksanaan
otonomi daerah, 2) persiapan revisi UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dan 3) implikasi anggaran dari kenaikan gaji guru.

Di samping itu, ada perkembangan lain selama tahun 2001 yang tidak secara
khusus diangkat di sini, yang hingga saat ini masih dibicarakan di tengah
masyarakat pendidikan, antara lain rencana penghapusan Ebtanas, perubahan
dari sistem catur wulan ke sistem semester (lagi) dijenjang Dikdasmen,
rencana perubahan pelaksanaan seleksi masuk calon mahasiswa oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan, penguatan sektor pendidikan kemasyarakatan
melalui apa yang disebut Community-Based Education (CBE), pelaksanaan model
pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah yang dikenal dengan
School-Based Management (SBM), pembaharuan kurikulum yang mengarah pada
kurikulum berbasis kompotensi (competence-based curriculum, CBC) dan
broad-based curriculum besertalife-skills-nya, dan banyak lagi.

Pelaksanaan otonomi daerah

Tahun 2001 adalah saat dimulainya pelaksanaan otonomi daerah, termasuk
dalam penyelenggaraan pendidikan yang mengacu kepada UU No.22/1999. Dalam
PP No.25/2000 yang merupakan penjabaran dari UU No.22/1999 tersebut
dikemukakan pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
dalam berbagai bidang, termasuk dalam pendidikan. Berbeda dengan PP yang
lain, PP No.25/2000 menyebutkan kewenangan pemerintah Pusat dan Provinsi,
tetapi tidak menyebutkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota, padahal
justru kewenangan terbesar dalam pengelolaan pendidikan dan konteks Otda
berada di tingkat Kabupaten/kota. Jadi logikanya ialah, kewenangan yang
tidak disebutkan dalam PP tersebut otomatis menjadi tanggung jawab
Pemkab/Pemkot. Logika yang demikian menimbulkan kebingungan tentang siapa
menangani apa, karena ruang lingkup pengelolaan pendidikan sangatlah luas.

Maka selama tahun 2001, ketika Otda dimulai, terjadi tarik menarik antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota tentang siapa menangani apa?
Misalnya, dalam jenjang pendidikan, sementara pihak di Pusat menghendaki
agar Pemkab/Pemkot menangani pendidikan dasar, sedangkan SLTA ditangani
provinsi, dan pendidikan tinggi tetap ditangani oleh Pusat. Pemkab/Pemkot _
dengan merujuk pada PP No.25/2000 tersebut, mengartikan bahwa semua urusan
pendidikan adalah wewenang Pemkab/Pemkot, bahkan bila ingin konsisten Dikti
pun menjadi urusan mereka. Provinsi menafsirkan bahwa pendidikan tinggi
menjadi urusan Pemprov (sehingga di Dinas Pendidikan Provinsi ada Subdin
Dikmenti), sedangkan Pusat berjuang agar Dikti tetap ditangani Pusat. Pada
jenjang Dikti, ada masalah yang lebih serius lagi khususnya berkenaan
dengan penanganan PTS. Dengan adanya Subdin Dikmenti, maka timbul
pertanyaan: apa tugas Kopertis? Di tengah kebimbangan ini, maka Asosiasi
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) menjadi lebih kuat perannya
untuk menangani peran-peran yang selama ini ditangani Kopertis.

Lebih runyam lagi pada saat dimulainya Otda ialah terjadinya tarik menarik
antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan eks-Kanwil Depdiknas di tingkat
provinsi, dan antara Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan eks
Kandepdiknas. Di sejumlah provinsi, pertarungan ini sedemikian kerasnya
sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan pendidikan. Setelah
dinas berdiri, setiap provinsi/kabupaten/kota dapat mengembangkan Struktur
Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya,
tentu dengan job description yang berbeda-beda pula. Dalam kenyataannya,
hal ini pun menjadi persoalan tersendiri, karena SOTK menjadi sangat
beragam antar-provinsi dan kabupaten/kota.

Akibat lain yang amat kritis ialah Pusat sebagai representasi dari
"nasional" menjadi kehilangan tangannya di daerah. Banyak agenda kegiatan
atau program yang selama ini ditangani oleh Pusat kemudian macet atau
bahkan mati di tengah jalan akibat tidak jelas lagi siapa yang menanganinya
di daerah. Dengan kata lain, Pusat menjadi tidak berdaya menghadapi daerah,
dan kebijakan-kebijakannya menjadi tidak efektif menjangkau satuan-satuan
pendidikan. Euforia Otda di daerah menimbulkan sikap-sikap antipati dan
penolakan di daerah terhadap apa pun yang "berbau" pusat.

Ditingkatkannya eselon Kepala Dinas tingkat provinsi menjadi II/a dan
tingkat kabupaten/kota menjadi II/b yang diikuti oleh eselon dibawahnya,
sehingga menjadi banyak yang sejajar dengan eselon di Pusat, menimbulkan
konsekuensi tersendiri dalam hubungan Pusat-Daerah. Di satu pihak, aparatur
pendidikan di Pusat yang eselonnya lebih rendah menjadi ragu-ragu atau
serba salah dalam berhubungan dengan Dinas di tingkat kabupaten/kota karena
eselonnya lebih tinggi. Di pihak lain, Daerah merasa lebih kuat dan lebih
"percaya diri" dalam menghadapi Pusat karena eselonnya juga setara. Dalam
pikiran daerah (dalam hal ini, kabupaten/kota) sejak berlakunya Otda tidak
ada lagi hubungan komando dari pengelola pendidikan di tingkat Pusat dan
Daerah, dan yang ada sekarang adalah "hubungan kesetaraan". Logika
pemerintahan mana yang menempatkan Daerah sejajar dengan Pusat? Itulah
sesungguhnya yang diramalkan akan berimplikasi luas pada masa depan
pendidikan nasional. Pendidikan menjadi "kehilangan" karakter dan sense
kenasionalannya dan gagap terhadap hal-hal yang bersifat nasional; padahal
kita masih menerima dan berada dalam wadah NKRI yang justru saat ini sedang
terancam!

Jalan keluarnya ialah, perlu dicari perimbangan baru yang lebih memberikan
kepastian terhadap misi pendidikan sebagai sarana pembangunan karakter
bangsa dan memberikan jaminan terhadap masa depan NKRI. Waktu setahun sejak
pelaksanaan Otda belum terlambat bagi kita untuk melakukan koreksi yang
diperlukan, tanpa harus kembali ke sistem ultra-sentralistik di masa lalu
yang juga memiliki banyak ekses. Ayunan pendulum dari sistem yang
sentralistik ke sistem yang desentralistik tidak mesti seekstrem sekarang,
yaitu dari ultra-sentralistik menjadi ultra-desentralistik. Kiranya, hal
serupa juga berlaku pada sektor-sektor lain di luar pendidikan.

Persiapan Revisi UU No.2/1989

Sejak disahkan pada bulan Maret 1989, UU No.2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah menjadi pedoman dalam pengelolaan pendidikan
nasional. Setelah lebih dari 10 tahun berlalu, apalagi dengan keluarnya
peraturan perundang-undangan baru terutama UU No.22/1999 dan PP No.25/2000,
UUSPN harus direvisi karena semangat dan isinya tidak lagi sesuai dengan
perkembangan bidang pendidikan yang begitu cepat. Dapat dikatakan bahwa
lebih dari separoh isi UUSPN memerlukan revisi terutama yang berkaitan
dengan kewenangan dalam menangani pendidikan. Pendidikan nasional yang
dalam UUSPN cenderung menempatkan Pusat khususnya Depdiknas sangat dominan
dengan pola yang seragam dan di pihak lain peran masyarakat kurang, serta
mendefinisikan pendidikan sebatas yang dilaksanakan oleh pemerintah
memerlukan perumusan ulang.

Sejak tahun 2000, Komite Reformasi Pendidikan (KRP) ditugaskan untuk
melakukan kajian untuk merevisi UUSPN. Namun dengan pergantian pemerintahan
khususnya pimpinan Depdiknas, terjadi pula perubahan tentang siapa yang
menangani revisi ini. Mendiknas Prof. Malik Fadjar cenderung menyerahkan
revisi ini kepada Komisi VI DPR-RI dan Depdiknas memberikan masukan,
termasuk dari hasil kerja KRP. Langkah ini positif karena pada akhirnya
rancangan revisi tersebut akan dibahas oleh Komisi VI sebelum diajukan ke
Presiden untuk disahkan. Akan tetapi langkah ini sebaiknya tidak dengan
sendirinya mengakhiri fungsi KRP. Meskipun secara institusional panitia ini
mungkin dibubarkan, tetapi fungsi-fungsinya tetap penting untuk memberikan
masukan kepada DPR-RI sehingga dapat menjadi "dapur" untuk menampung
berbagai pemikiran, gagasan, dan aspirasi untuk kemudian diolah dan
disampaikan ke DPR-RI.

Di samping itu, DPR-RI juga sebaiknya peka terhadap berbagai perkembangan
dan aspirasi yang muncul dalam masyarakat, baik yang disampaikan langsung
kepada DPR-RI maupun dibicarakan (sebagai wacana) di tengah masyarakat.
UUSPN hasil revisi nanti hendaknya juga tetap menekankan pentingnya suatu
sistem pendidikan nasional yang dapat menjamin kelangsungan NKRI sekalipun
pelaksanaannya sebagian besar oleh daerah. Jangan sampai UU yang baru nanti
malah ikut membuka peluang bagi terjadinya disintegrasi bangsa. Pembahasan
di DPR-RI seyogyanya tidak terlalu berlarut-larut (sebagaimana terjadi pada
banyak RUU), karena pendidikan nasional yang sedang berada dalam situasi
"quo vadis" ini memerlukan kepastian yang menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Memang ada kemungkinan pembahasan di DPR-RI akan sangat intensif dan keras
karena beragamnya sudut pandang dan kepentingan para anggota DPR-RI yang
mengatasnamakan konstituen politiknya, di samping pendidikan itu sendiri
memiliki kedudukan yang sangat strategis untuk menyiapkan generasi
mendatang. Di sinilah, antara lain, aspek politik dari pendidikan. Sekarang
ini, dalam logika perundang-undangan, sebelum ada pengganti UU yang baru,
UUSPN yang lama sebenarnya masih berlaku, tetapi dalam kenyataannya sudah
tidak lagi menjadi pedoman utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional.

Kenaikan gaji guru dan implikasi anggarannya

Tahun 2001 ditandai oleh ingar-bingar protes guru dan tenaga kependidikan
lainnya akibat terlambatnya pembayaran rapel kenaikan gaji mereka. Sejak
sistem pengelolaan anggaran belanja diubah, persoalan keterlambatan
pembayaran rapel atau yang serupa dengan itu menjadi sangat pelik karena
bisa terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pusat dan Daerah
(kabupaten/kota). Sejak tahun 2001, dana rutin pembayaran gaji pegawai
(termasuk guru) disalurkan dalam suatu paket yang dikenal dengan DAU (Dana
Alokasi Umum) yang diluncurkan oleh Pusat ke setiap kabupaten/kota.
Pemkab/Pemkot itulah, bersama DPRD, yang mengalokasikan DAU untuk berbagai
jenis pengeluaran, dan bagian terbesar adalah untuk gaji pegawai. Di
sinilah sumber persoalannya. Pusat menyatakan bahwa dana untuk pembayaran
rapel tersebut telah diluncurkan seluruhnya dalam DAU tahun 2001; sedangkan
Pemkab/Pemkot menyatakan bahwa dana yang ada pun pas-pasan saja untuk
membayar gaji, apalagi harus membayar rapel.

Dengan mengambil analogi pertandingan olahraga, Pemkab/Pemkot juga
menganggap Pusat "mengubah aturan ketika permainan telah berjalan", yaitu
mengumumkan kenaikan gaji guru di tengah tahun anggaran pada saat DAU telah
dibagi habis untuk berbagai jenis kebutuhan. Kalaupun ada "dana lebih", itu
pun telah digunakan untuk membayar kenaikan tunjangan jabatan para pejabat
di daerah akibat meningkatnya eselon, hal yang justru tidak diperhitungkan
oleh Pusat sebelumnya. Pemkab/Pemkot yang memiliki sumber dana lain dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau sektor lain yang masih cukup dananya,
dapat segera menyelesaikan pembayaran rapel guru. Tetapi sebagian (besar)
Pemkab/Pemkot hingga berakhirnya tahun 2001 masih belum mampu membayar
penuh rapel tersebut yang mengundang keresahan di kalangan guru.

Persoalan gaji dan rapel hampir selalu dominan dalam dunia pendidikan
nasional, akibat rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Namun melalui 3 kali
kenaikan gaji/tunjangan pegawai yang cukup signifikan selama 4 tahun
terakhir (yaitu tahun 1999, 2000 dan 2001), tingkat kesejahteraan pegawai,
termasuk guru, semakin baik. (Di sini disebut "pegawai" karena dalam
kenyataannya sistem penggajian guru masih sama dengan PNS lainnya; belum
ada sistem penggajian yang khusus untuk guru sebagaimana yang dimintakan
oleh Presiden Megawati pada HUT ke 25 PGRI November 2001).

Jumlah penghasilan guru dari gaji bulannya sekarang telah melebihi Rp 1
juta per bulan; jadi secara rata-rata ada kenaikan sekitar 1,5 kali lipat
dari keadaan tahun 1997. Memang kenaikan nilai nominal tersebut menjadi
berkurang pengaruhnya terhadap daya beli para guru akibat faktor inflasi
dan naiknya harga berbagai jenis kebutuhan yang dipicu oleh kenaikan tarif
listrik, telepon, harga BBM, dan lain-lain. Meskipun belum mencapai tingkat
kesejahtearan minimal guru (sekitar 2 kali lipat dari tahun 1997, itu pun
dengan asumsi nilai riilnya, bukan hanya nominalnya, tidak banyak berubah),
kenaikan gaji guru pada 4 tahun terakhir telah banyak membantu meningkatkan
kesejahteraan guru.

Untuk tahun ini dan ke depan, seharusnya masalah terkatung-katungnya
pembayaran rapel akibat adanya salah-komunikasi antara Pusat dan
Kabupaten/Kota tidak lagi terjadi. Pemkab/Pemkot juga mesti waspada dalam
mengantisipasi hal-hal seperti ini. Untuk biaya yang bersifat tetap seperti
gaji dan juga biaya operasional pendidikan, Pemkab/Pemkot seharusnya tidak
melakukan "rekayasa" apapun, karena bisa menimbulkan persoalan serius.
Pusat juga mesti transparan dan jelas dalam memberikan pedoman kepada
daerah untuk jenis-jenis alokasi anggaran yang sudah "fixed". Dari segi
guru, kenaikan gaji/tunjangan menimbulkan tuntutan yang semakin besar untuk
meningkatkan profesionalisme, komitmen, dan tanggung jawabnya dalam
melaksanakan tugas. Tanpa itu, maka kenaikan gaji/tunjangan akan kurang
bermakna bagi peningkatan kinerja pendidikan, baik di tingkat satuan
pendidikan, daerah, maupun nasional.***

Penulis adalah Rektor UPI Bandung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar