Selasa, 26 Mei 2009

Guru Merasa Diperlakukan Habis Manis Sepah Dibuang

Selasa, 2 September 2008 | 20:11 WIB

JAKARTA, SELASA - Para guru yang baru pulang mengabdi sebagai guru tidak tetap tetap bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Sabah, Malaysia merasa diperlakukan habis manis sepah dibuang. Mereka menuntut manajemen program itu diperbaiki.

Terdapat 50 guru yang baru saja habis masa kontraknya dan kembali ke Tanah Air akhir Agustus lalu. Tadinya ada 109 guru pemerintah Indonesia tersebar di sejumlah daerah perkebunan kelapa sawit di Sabah. Mereka menyampaikan keluhan tersebut dalam jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Selasa (2/9).

Ketua Forum Guru Tidak Tetap di Sabah, Tetep Saipul mengatakan, mereka bekerja tanpa mengetahui secara jelas MoU antara pemerintah, pemerintah Malaysia, dan Humana Child Aid Society. Humana merupakan organisasi nonpemerintah pengelola pusat bimbingan belajar bagi anak TKI. Guru tidak tetap asal Indonesia yang terseleksi dan berpendidikan minimal strata satu itu kemudian ditempatkan di pusat-pusat belajar yang dikelola Humana. Mereka dikontrak selama dua tahun oleh pemerintah Indonesia.

Kondisi guru juga memprihatinkan. Sebagian dari mereka tinggal di sekolah tanpa fasilitas dasar memadai seperti keberadaan kamar mandi. Mereka juga harus mengajar multigrade. Supervisor Guru Tidak Tetap yang menangani anak-anak TKI di Sabah dari Departemen Pendidikan Nasional, Kamal Fikri mengungkapkan, para guru memang bekerja dalam kondisi yang berat dan melampui batas kewajiban mereka. Permasalahan pendidikan anak TKI di Malaysia sangat kompleks, ujarnya.

Akan tetapi, pengabdian mereka tersebut tidak berbalas pengalaman manis. Gaji mereka kemudian menjadi persoalan. Mereka seharusnya mendapat Rp 6.032.000 per bulan. Namun, yang diterima hanya Rp 4.937.500 lantaran dipotong administrasi pembelajaran sebesar Rp 1.050.000. Padahal, guru-guru tidak merasakan hasilnya, begitu pula dengan potongan asuransi yang menurut guru tidak banyak bermanfaat. Guru juga tidak mendapatkan pelayanan yang layak dari Malaysia . Saat sakit mereka harus mengeluarkan biaya lagi. Padahal, biaya asuransi setiap guru berjumlah 800 RM atau sekitar dua juta rupiah. Salah seorang guru, Murnilawati, bahkan sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan. Rapelannya baru diterima sesampainya di Indonesia dan itupun setelah diklaim, ujarnya. Sebagai guru tidak tetap, nasib mereka sepulangnya ke tanah air juga belum ada kejelasan atau menjadi pengangguran.

Kepergian mereka ke Malaysia dengan seremonial meriah dan diantarkan para pejabat Departemen Pendidikan Nasional, Wakil Presiden RI dan Menteri Pendidikan Nasional. Namun, proses pemulangan mereka jauh berbeda. Tidak ada satu pun pejabat dan tim dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas yang menyambut mereka di Sabah seperti saat pemberangkatan dulu. Mereka juga sempat kekurangan dana kepulangan sehingga supervisor mereka harus meminjam uang sekitar 2.000 RM dari Humana.

Sesampainya di Jakarta, tempatnya di Wisma Handayani, hanya dua orang staf PMPTK yang menyambut dan diakhiri ucapan terima kasih serta pemberian surat keterangan telah melaksanakan tugas di Sabah. "Setelah itu pergi meninggalkan kami di wisma sampai saat ini. Kami merasa sebagai guru, habis manis sepah dibuang," ujar Khoerul Wajid yang juga wakil Koordinator Batch I program itu. Agar terdapat perbaikan, mereka meminta adanya evaluasi komprehensif terhadap program pengiriman guru untuk anak TKI di Sabah, Malaysia baik mengenai keberadaan anak TKI maupun guru yang mengabdikan diri di sana.


Indira Permanasari S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar