Senin, 16 Maret 2009

Kesiswaan Doa Bersama Jelang UN

Sabtu, 19 April 2008 | 09:00 WIB

PALANGKARAYA, SABTU - Ratusan siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah mengikuti acara penyuluhan bahaya narkotika, pelatihan motivasi, dan doa bersama praujian akhir nasional.

Acara yang digelar di Gedung Pertemuan Umum Tambun Bungai itu merupakan kerjasama Forum Komunikasi Peduli Umat Kalimantan Tengah dan Badan Narkotika Provinsi Kalimantan Tengah, Sabtu (19/4) pagi.


Cyprianus Anto Saptowalyono

Sekolah Ancam Penyebar Geng Nyik Nyik

Selasa, 28 Oktober 2008 | 13:00 WIB




TULUNGAGUNG — Setelah rekaman video kekerasan kelompok pelajar putri SMA Negeri 1 Gondang, Tulungagung, yang dikenal sebagai Geng Nyik-Nyik beredar luas, pihak sekolah merasa tercoreng namanya dan mencari penyebar rekaman itu. Namun, cara yang dilakukan sekolah terkesan kurang pantas, yakni dengan menakut-nakuti siswa yang dicurigai sebagai pelaku penyebaran. Parahnya lagi, pihak sekolah langsung menuduh pelajar yang inisial namanya muncul di pemberitaan media sebagai pelaku penyebaran video kekerasan tersebut. Beberapa oknum guru bahkan mengancam akan mengeluarkan jika siswa tertuduh tak mau mengakui sebagai penyebar rekaman.

Menurut keterangan salah satu siswa yang menolak disebut namanya karena ketakutan, dirinya langsung dituduh sebagai biang kerok tersebarnya video kekerasan yang terjadi di SMA Negeri 1 Gondang pascapemberitaan Geng Nyik Nyik di media.

“Bahkan, seorang guru mengatakan mudah saja menskors atau mengeluarkan murid dari sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Itu disampaikan berulang-ulang di hadapan para siswa lain. Tolong nama saya jangan disebut,“ ujar siswa itu dengan nada ketakutan saat ditemui wartawan, Senin (27/10).

Dirinya juga dipanggil beberapa kali ke ruang guru untuk mengakui tindakan yang tidak dilakukannya itu. Ia bersikukuh mengatakan, bukan dirinya yang menyebarkan video adegan kekerasan Geng Nyik Nyik.

Seperti diberitakan Surya sebelumnya, Kabupaten Tulungagung yang relatif tenang itu awal pekan lalu digemparkan oleh beredarnya video kekerasan yang dilakukan sekelompok pelajar putri yang kemudian diketahui sebagai Geng Nyik Nyik.

Geng ini melakukan kekerasan dengan cara menampar muka dan menjambak rambut para korbannya jika mereka tak mau mentraktir anggota Geng Nyik Nyik.

Para korban umumnya adalah sesama pelajar putri (siswi) yang masih yunior atau kelasnya di bawah kelas anggota Geng Nyik Nyik. Aksi geng kekerasan ini terkuak setelah beberapa orangtua murid mengadukan ke pihak sekolah pada 21 Oktober karena anak mereka diduga sebagai korban Geng Nyik Nyik.

Dalam rekaman video yang beredar, tertayang dua macam aksi kekerasan oleh Geng Nyik Nyik. Pertama, rekaman (yang diambil dari ponsel berkamera itu) berdurasi 2 menit 28 detik yang menggambarkan dengan jelas adanya penamparan—yang terjadi 15 Oktober 2008.

Kemudian rekaman kedua yang berdurasi 59 detik, terlihat Jvt sedang memelonco juniornya yang duduk di kelas I SMA Negeri 1 Gondang.

Nama Nyik Nyik sendiri diketahui sebagai nama panggilan dari seorang siswi senior di SMA itu, yang dikenal sebagai pendiri geng. Geng Nyik Nyik ini mirip dengan Geng Nero di Pati, Jawa Tengah, yang para anggotanya juga pelajar putri dan melakukan aksi kekerasan terhadap pelajar putri lainnya yang menentang kehadirannya.

Sejauh ini kepolisian belum bertindak lebih jauh untuk mengusut Geng Nyik Nyik karena dinilai kasus itu hanya kenakalan biasa dari anak sekolah. Tidak sampai menjurus ke kriminalitas.

Seorang siswa yang jadi tertuduh menuturkan keheranannya mengapa dirinya yang dipanggil sekolah terkait beredarnya rekaman aksi kekerasan Geng Nyik Nyik.
“Memang saya memiliki rekaman adegan kasar kakak kelas saya itu. Namun, yang punya kan tidak saya. Banyak teman lain yang juga punya rekamannya. Mengapa saya sendiri yang disalahkan,“ paparnya.

Bahkan, intimidasi semacam ini tidak hanya datang dari guru. Beberapa siswi kelas III yang diduga anggota Geng Nyik-Nyik juga menerornya melalui pesan singkat ponsel (SMS). Isinya memaksa dia untuk meminta maaf karena telah menyebarkan video kekerasan keluar sekolah.

“Selain itu, semua pandangan siswa di sekolah bernada sinis kepada saya. Ini yang membuat saya tidak kerasan di sekolah dan ingin pindah saja,“ tuturnya.

Ketika ditanya siapa guru yang sering menekan dan menakut-nakutinya, siswa ini tidak berani menyampaikan walaupun hanya inisial nama guru itu. Ia mengaku trauma, apalagi intimidasi juga sampai ke rumahnya.

Pada Sabtu (25/10) lalu, beberapa anak baru gede (ABG) yang mengaku-ngaku sebagai temannya, datang ke rumahnya. Mereka mencari siswa yang terintimidasi itu dengan sikap tidak sopan.

“Sebagai orangtua tentu saya waswas kalau anak saya nanti disakiti di jalan. Karena itu, saya berharap ada pihak yang bisa menjadi penengah menyelesaikan masalah ini. Jangan anak saya yang jadi korban,“ tutur Ny Yt, ibu siswa yang merasa terintimidasi tersebut.

Anehnya, ketika siswa ini melaporkan ke pihak guru sekolah, ujar Ny Yt, justru sang guru menganggap kejadian tersebut sebagai hal wajar. Bahkan, oknum guru itu justru membenarkan adanya teror oleh para ABG itu—yang kemudian diketahui sebagai para siswi kelas III dan anggota Geng Nyik-Nyik.

“Kalau sudah begini, saya harus berlindung ke mana. Kenapa anak saya yang dipojokkan, padahal dia juga tidak menyebarkan rekaman video kekerasan itu,” imbuh Ny Yt.

Pihak SMA Negeri 1 Gondang melalui Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan Agus Pratomo membantah adanya intimidasi terhadap siswa yang diduga menyebar rekaman video Geng Nyik Nyik.

Namun, Agus membenarkan bahwa pihaknya memang mencari pelaku penyebaran video kekerasan tersebut. Tujuannya hanya untuk meluruskan sekaligus menjelaskan kepada yang bersangkutan bahwa geng tersebut tidak pernah ada.

“Kami juga tak mengintimidasi siswa. Kami hanya mencari siapa sesungguhnya penyebar video kekerasan ini. Kemudian di media muncul inisial nama yang sama dengan salah satu siswa kami. Makanya kita panggil dan tanyai dia, “ tutur Agus.

Ketika dimintai pendapatnnya tentang intimidasi terhadap siswa yang diduga penyebar rekaman Geng Nyik Nyik, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Kabupaten Tulungagung, Maryoto Bhirowo mencoba berhati-hati.

Maryoto mengatakan pihaknya akan lebih dulu meminta klarifikasi kepada SMA Negeri 1 Gondang dan siswa yang mengaku diintimidasi tersebut. “Kalau mengancam akan mengeluarkan siswa dari sekolah, jelas tidak dibenarkan. Apa dulu masalahnya. Namun, kalau ada tindakan yang harus diambil sekolah karena kenakalan siswa, itu boleh saja asal dalam batas yang wajar,” kata Maryoto seraya berharap agar upaya sekolah menyelesaikan masalah ini justru tak menimbulkan masalah baru lagi. ais


Pendidikan Indonesia Tak Ajari Siswa Wirausaha

Sumber : KOMPAS, Rabu, 25 Februari 2009 | 20:44 WIB


SLEMAN, RABU - Proses pendidikan di negeri ini tidak mendidik orang mempunyai cukup bekal berwirausaha. Itu karena siswa dan mahasiswa jarang sekali disentuhkan dengan beban risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, yang notabene adalah kenyataan hidup.

Hal itu disampaikan pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang juga mantan rektor UAJY Slamet S Sarwono, Rabu (25/2), dalam diskusi Menjawab Tantangan Global Dari Jogja Melalui Nilai Budaya Imlek, di UAJY.

Siswa dan mahasiswa mengejar nilai, dosen gampang memberikan nilai A dan B, dan orang tua puas jika rapor dan prestasi akademik anaknya bagus. "Hasil angka yang bagus, tak mendidik anak untuk punya mental bagus kala menghadapi risiko," ujarnya.

Slamet bercerita bahwa ketika ia mengambil gelar doktor di luar negeri, pernah melihat sejumlah temannya yang pulang tanpa membawa gelar. "Di sini, ketika orang mengambil gelar doktor, pasti dapat. Tapi di universitas-universitas luar negeri, belum tentu," ujarnya.

Pegawai negeri sipil (PNS) di luar negeri, kualitasnya jauh dibanding PNS Indonesia. PNS di Kantor Imigrasi Malaysia misalnya, sigap dan aktif melayani. Tak heran jika negara itu maju . Bukan karena penduduknya sedikit maka negaranya maju, tapi karena karakter dan mental warga di sana sudah terbentuk sejak di bangku sekolah, katanya.

Sementara di Indonesia, status sebagai PNS yang mendudukkan orang menjadi tenaga kerja dengan beban kerja nyantai, tanpa parameter pengawasan ketat, dan tanpa resiko dikeluarkan dari pekerjaan, membuat PNS amat kurang punya mental melayani dan berwirausaha.


PENELITIAN PEMBELAJARAN VISIONER: Pemecahan Masalah Masa Depan

Topik penelitian pembelajaran berpikir dan pemecahan masalah mendapat perhatian besar dari para peneliti bidang psikologi pada tahun 1980-an. Perhatian tersebut didasarkan pada adanya perubahan dan tantangan yang cepat dalam masyarakat yang memerlukan manusia berkemampuan memecahkan masalah (Bransford, dkk., 1986; Marzano, dkk., 1988; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Jika kemampuan memecahkan masalah telah diperoleh, seseorang tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, akan tetapi juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Gagne, 1985; Gagne, 1977; 1985; Bransford, Sherwood, dan Reiser, 1986; Siegler, 1991).

Penelitian ini sangat urgen dilakukan untuk menyediakan temuan empirik bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Topik pembelajaran berpikir dan pemecahan masalah mendapat perhatian besar dari para peneliti bidang psikologi pada tahun 1980-an. Perhatian tersebut didasarkan pada adanya perubahan dan tantangan yang cepat dalam masyarakat yang memerlukan manusia berkemampuan memecahkan masalah (Bransford, dkk., 1986; Marzano, dkk., 1988; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Jika kemampuan memecahkan masalah telah diperoleh, seseorang tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, akan tetapi juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Gagne, 1985; Gagne, 1977; 1985; Bransford, Sherwood, dan Reiser, 1986; Siegler, 1991).

Dengan mengacu pada pernyataan tersebut di atas, penelitian yang akan dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dalam ruang lingkup yang berkaitan dengan “Program Pemecahan Masalah Masa Depan” (Future Problem Solving Program), dengan dimensi-dimensi: Pengembangan Model Pedidikan, Pembelajaran, dan Pelatihan, Pengembangan Kurikulum, Pengembangan Sumber Belajar/Bahan Ajar Multi Media, Pengembangan Strategi Pembelajaran, Pengembangan Alat Evaluasi, Pengembangan berpikir kreatif, Berpikir kritis dan analitis, Pengembangan keterampilan komunikasi verbal dan tulisan, Strategi pemecahan masalah, Memecahkan masalah kesenjangan kehidupan sekolah dengan dunia nyata. Ruang lingkup dan tema tersebut perlu dikembangkan untuk semua kelompok bidang studi, misalnya: Pembelajaran Berbasis Masalah Matematika, Biologi, Fisika, Ilmu-ilmu Sosial, Bahasa, Agama, Pendidikan Jasmani dan Olahrara, dan sebagainya.

Kegiatan penelitian pembelajaran dengan domain khusus pemecahan masalah ini sudah dilakukan oleh peneliti sejak tahun 1996 sampai sekarang. Puncak kegiatan yang secara intensif berkaitan dengan penelitian pembelajaran pemecahan masalah adalah penelitian disertasi untuk menyelesaikan pendidikan doktor (S3). Berikut adalah judul-judul penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan topik penelitian ini sebagai berikut.

  1. Kapabilitas pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar di Kodya Malang. Dana DIP IKIP Malang. Ketua. (1996)

  2. Survey Model Strategi Pembelajaran pada Kelas/ Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Jawa Timur. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing VII/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (1998, 1999, 2000)

  3. Kajian Teoretik Perilaku Mengajar, Sikap Guru di Kelas dan kapabilitas Pemecahan Masalah Siswa Sekolah Dasar. Penelitian Dasar dari Dirbinlitabmas Ditjendikti. Anggota kelompok. (1999).

  4. Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita siswa SD Kelas Tiga. Disertasi. (2001).

  5. Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita Siswa Sekolah Dasar Kelas Tiga (Disertasi). Mandiri. (2001)

  6. Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Melalui Computer-Based Instruction Siswa Kelas Unggulan SD. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing X/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (2002, 2003, 2004)

  7. Evaluasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Indonesia. Penelitian didanai oleh Balitbang dan Unesco. Anggota Peneliti. 2005.

  8. Evaluasi Program Kemitraan Kepala Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, dan Partisipasi Masyarakat. Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen PMPTK. 2006.

  9. Evaluasi Program Manajemen Berbasis Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, Pemberdayaan Masyarakat. Badan Perencanaan nasional. 2006.

Tema penelitian berkaitan dengan program pemecahan masalah masa depan masih sangat terbuka, mengingat tema penelitian ini masih berupa hutan belantara di Indonesia. Oleh karena itu, kami mengajak rekan sejawat peneliti dan dosen perguruan tinggi di Indonesia untuk bersama-sama mengkaji tema tersebut melalui kerjasama penelitian.

Penelitian yang sedang dilakukan adalah mengembangkan Model Pembelajaran Visioner yang didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Ditjen Dikti Depdiknas tahun 2008, ini akan membangun jembatan antara konteks pembelajaran yang bersifat teaching-based, instructor-mediated ke arah konteks pembelajaran yang bersifat learning-based. Keuntungan yang akan diperoleh melalui penelitian ini terutama untuk menyediakan sumber-sumber belajar bagi mahasiswa yang berpeluang untuk mengembangkan setiap individu mencapai kemampuan optimal dalam memecahkan masalah masa depan.


Tidak Boleh Ada Perpeloncoan Siswa Baru

Kamis, 10 Juli 2008 | 20:43 WIB

BANDUNG, KAMIS - Kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran baru 2008/2009 dimulai serentak, Senin (14/7) mendatang. Di masa pengenalan sekolah, dilarang adanya praktik-praktik perpeloncoan. Sekolah pun diwajibkan melakukan pembinaan terhadap organisasi siswa untuk menghindarkan praktik negatif ini.

Kegiatan pengenalan yang biasanya diberi nama masa orientasi sekolah pun mulai tahun ini diganti menjadi Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Sesuai dengan namanya, kegiatan lebih diarahkan untuk mengenalkan siswa dengan lingkungan sekolah mulai dari program, budaya, hingga kurikulum pembelajarannya.

Dikenalkan pula strategi pembelajaran yang efektif di sekolah. "Perpeloncoan itu dilarang," ujar Kepala SMAN 2 Kota Bandung, Teddy Hidayat, Kamis (10/7). Kegiatan MPLS ini pun hanya berlangsung singkat, yaitu dua hari, berturut-turut Senin (14/7) dan Selasa (15/7). Ini diatur di dalam Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Nomor 421.7/530-PSMTH/2008.

Yang lebih positif, kegiatan latihan kepemimpinan siswa pun ikut dimasukkan di dalam rangkaian MPLS ini. Tepatnya, mulai 16-19 Juli ini. Menurutnya, kegiatan macam ini akan lebih bermanfaat bagi siswa. Sebab, materi pengenalan lingkungan sekolah yang disampaikan nantinya bisa menjadi bekal strategi siswa untuk berhasil dalam belajar.

Menyinggung soal potensi munculnya praktik perpeloncoan di sekolah, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 5 Kota Bandung, Rahmat Effendi mengungkapkan, itu bisa dihindari lewat pembinaan dan sosialisasi memadai kepada para siswa senior di kelas XI dan XII. Ia optimis, di sekolahnya tahun ini tidak akan muncul perpeloncoan. Apalagi, sejak tahun-tahun sebelumnya, praktik negatif ini telah dilarang.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA se-Kota Bandung, Ajat Sudrajat mengungkapkan, antisipasi praktik perpeloncoan telah menjadi perhatian serius bersama para kepala sekolah. "Kepala-kepala sekolah dan para pembina kesiswaaan telah berkumpul dua hari lalu untuk membicarakan ini (MPLS). Dalam rapat ditegaskan lagi tidak boleh ada perpeloncoan," ujarnya.

Ajat menjelaskan, para pembimbing pun telah diarahkan untuk melakukan kontrol pembinaan kepada siswa selama kegiatan MPLS berlangsung. "Yang dibolehkan adalah penegakan disiplin. Bukan perpeloncoan," ucapnya kemudian. "Jika ditemui perpeloncoan oleh siswa, maka yang bersangkutan bisa dikenai sanksi pembinaan. Namun, masih dalam konteks yang edukatif," sambungnya.

Perilaku agresif

Sri Rahayu Astuti, psikolog perkembangan remaja dari Universitas Padjadjaran, mengatakan, pada prinsipnya, usia remaja seperti siswa tingkat SMA berpotensi memiliki perilaku agresif. Perilaku yang mengarah intimidasi ke orang lain ini potensial muncul di perpeloncoan.

"Perilaku agresif ini tidak hanya dalam bentuk fisik misal kekerasan, melainkan juga verbal macam kata-kata ejekan," katanya. Risiko perilaku agresif siswa lebih senior ini makin tinggi mengingat usia remaja adalah fase pengenalan diri dan emosi. Cara yang efektif mengatasi pesoalan ini adalah melalui bimbingan intensif dari orang dewasa.

Belum Ada Guru di Sumut Dapat Tunjangan Profesi

Jumat, 25 Juli 2008 | 19:42 WIB

MEDAN, JUMAT - Belum ada satu pun guru berbagai tingkatan pendidikan di Sumatera Utara yang mendapat tunjangan profesi hingga saat ini. Padahal dari 176.589 orang guru, baik sekolah negeri maupun swasta, sebagian besar di antaranya telah mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian portofolio, yang diselenggarakan Universitas Pendidikan Medan yang ditunjuk sebagai rayon Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Menurut Kepala Sub Dinas Pengembangan Tenaga Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Maju Siregar, Dinas Pendidikan Sumut belum pernah sekali pun mengucurkan dana t unjangan profesi guru hingga saat ini. Dinas Pendidikan Sumut bertugas memproses dan menyalurkan tunjangan profesi bagi guru yang telah lulus sertifikasi, setelah memperoleh surat keputusan penerima tunjangan profesi dari Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional.

Maju mengatakan, data berapa banyak guru yang sudah lulus uji sertifikasi oleh Universitas Negeri Medan (Unimed) ada di Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota. "Hanya yang bisa saya pastikan, belum ada satu pun dari guru-guru yang lulus sertifikasi itu sudah mendapatkan tunjangan profesi," ujar Maju di Medan, Jumat (25/7).

Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Delta Pasaribu, guru yang lulus sertifikasi dari Unimed tidak secara otomatis dapat memperoleh tunjangan daerah. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain, nomor registrasi, sertifikat pendidik dan ketentuan sudah memenuhi 24 jam tatap muka dengan murid dalam seminggu.

Ada juga beberapa guru yang mengajar mata pelajaran yang bukan kompetensinya. Seperti guru yang lulus S1 Fisika tetapi dia mengajar matematika. "Guru-guru ini yang harus mengikuti pelatihan portofolio di Unimed untuk mendapatkan kelayakan sebagai guru mata pelajaran tertentu," katanya.

Sebenarnya, kata Maju, dana sebesar Rp 134 miliar untuk tunjangan profesi guru di Sumut sudah ada dan tinggal dicairkan untuk guru yang telah memenuhi persyaratan. Hanya saja menurut dia, belum dicairkannya tunjangan profesi untuk guru-guru yang sudah lulus sertifikasi tersebut, lebih banyak karena mereka belum mengurus persyaratan administrasi. Maju mengatakan, sebenarnya memang guru tidak perlu bekerja keras mengurus persyaratan administrasi.

Dia mencontohkan, untuk mengurus nomor registrasi guru bersertifikat, seorang guru tinggal menyerahkan bukti sertifikasi dari Unimed, kemudian menyerahkannya ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di mana dia bertugas. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota lalu mengurus ke Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta. "Praktis guru hanya duduk diam sambil menunggu persyaratan administrasinya diselesaikan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota," katanya.

Maju menduga, sebagian Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumut tidak menganggarkan proses pengurusan persyaratan administrasi sertifikasi guru, sehingga tugas yang seharusnya dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota banyak yang tidak dikerjakan.

"Sampai sekarang saja kami masih belum tahu, berapa banyak guru yang telah lulus sertifikasi di kabupaten/kota. Ada sebagian kabupaten/kota yang tidak menganggarkan dana dalam APBD untuk mengurus persoalan sertifikasi ini, sehingga sampai sekarang belum ada guru yang bisa memenuhi syarat untuk memperoleh tunjangan profesi," katanya.

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB

JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Pemerintah Dituntut Perhatikan Kesejahteraan Guru

Selasa, 16 Desember 2008 | 22:08 WIB

SEMARANG, SELASA - Puluhan mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Semarang berunjuk rasa di depan halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah, di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Selasa (16/12). Mereka menuntut pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mengoptimalkan penggunaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.

Pengunjuk rasa yang berjalan dari arah Simpang Lima menuju kantor DPRD Jateng dikawal secara beriringan oleh pihak kepolisian. Mereka membentangkan spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan, "Maksimalkan Anggaran Pendidikan 20 Persen dan Berantas Mafia Pendidikan". Selain berorasi, pengunjuk rasa juga menggelar aksi teaterikal mengenai minimnya kesejahteraan guru swasta.

Koordinator Aksi Arif Setiyawan mengatakan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen semestinya dapat diserap secara maksimal oleh pemerintah untuk membenahi tatanan pendidikan Indonesia. "Pemerintah daerah yang belum bisa mengalokasikan anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga mesti bisa menyesuaikan," kata Arif yang juga selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa IKIP PGRI.

Penataan itu bisa berupa perbaikan terhadap kesejahteraan guru non-pegawai negeri sipil dan menekan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar secara intensif. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dikutip oleh BEM IKIP PGRI, jumlah anak putus sekolah yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia mencapai 11,7 juta anak atau meningkat dibandingkan tahun 2006 sebanyak 9,7 juta anak.

Pengunjuk rasa juga mendesak pemerintah untuk segera memberantas mafia pendidikan yang terbukti menyelewengkan dana biaya operasional sekolah (BOS) dan tersangka korupsi buku ajar.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah Kunto Nugroho mengatakan, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD Jateng tahun 2008 diprioritaskan untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti pelaksanaan kebijakan vokasi, pengentasan buta aksara, pendidikan nonformal, serta program wajib pendidikan dasar 9 tahun dengan menyiapkan sarana prasarana serta pemberian dana BOS.

Kunto menambahkan, Pemerintah Provinsi Jateng juga memberikan tunjangan kepada sekitar 40.000 guru swasta dengan total anggaran Rp 48 miliar. "Untuk tahun 2009, akan dialokasikan Rp 90 miliar untuk memberi tunjangan kepada 48.000 guru swasta di Jateng," kata Kunto.

Gresik Resmikan Sarana Pendidikan Senilai Rp 17,6 Miliar

Rabu, 4 Juni 2008 | 16:31 WIB

GRESIK, RABU- Bupati Gresik Robbach Ma'sum, Rabu (4/6), meresmikan 396 sarana pendidikan yang tersebar di 69 sekolah negeri dan 330 lembaga pendidikan swasta. Sarana pendidikan termasuk gedung sekolah, laboratorium, dan taman pendidikan Al Quran didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gresik senilai Rp 17,6 miliar. Penandatanganan prasasti dipusatkan di Aula Sunan Giri SMA Negeri 1 Gresik.

Robbach berharap, seluruh sarana yang dibangun bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dan sumber daya pendidik lebih ditingkatkan. Para kepala sekolah harus selalu memperbaiki manajemen pendidikan di sekolah masing-masing. "Kalau perlu metode dalam mempersiapkan materi pendidikan setiap guru selalu diperbaiki, jangan sampai tetap seperti zaman dulu," kata Robbach.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik Husnul Khuluq menambahkan, kualitas pendidikan di Gresik saat ini lebih baik dibanding kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007 biaya pendidikan yang dikeluarkan dari APBD sebesar Rp 77,216 miliar atau 22,5 persen dari APBD. "Jumlah tersebut tidak termasuk gaji guru sehingga Gresik menganggarkan pendidikan lebih dari 20 persen sebagaimana amanat undang-undang," kata Khuluq.

Menurut dia, biaya yang besar serta pembangunan sarana dan prasarana yang telah dianggarkan oleh APBD harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. "Yang terpenting keterjangkauan pendidikan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai ada anak orang tidak mampu tidak sekolah atau tak mampu membayar sekolah di Gresik," katanya.

DKI Akan Rehabilitasi 65 Persen Gedung Sekolah

Selasa, 3 Februari 2009 | 17:02 WIB

JAKARTA, SELASA — Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merehabilitasi 321 gedung sekolah SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN. Jumlah ini jauh dari yang diusulkan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada DPRD.

Dalam jumpa pers di balai kota, Selasa (3/2), Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pemprov DKI Jakarta Didi Sugandi mengatakan, ke-321 gedung sekolah ini terbagi dalam 3 tipe rehabilitasi. Yakni rehab total sebanyak 19 sekolah, rehab sedang 10 sekolah, dan rehab berat 229 sekolah.

"Data rekapitulasi gedung sekolah yang diusulkan sebesar 497 gedung, 321 gedung dikerjakan tahun ini dan sisanya 179 gedung sekolah belum masuk target rehab tahun ini," katanya. Pada rehab total realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 233 miliar dan rehab berat sebanyak Rp 348 miliar, sementara Didi tidak merinci besaran untuk rehabilitasi sedang.

Adapun kriteria sebuah sekolah masuk rehab total adalah umur bangunan lebih dari 30 tahun, tingkat kerusakan lebih dari 65 persen, tidak memilik ruang penunjang serta konstruksi belum standar, masih menggunakan bahan kayu yang sudah rapuh, dan konstruksi bangunan tidak dapat dipertahankan.

Untuk jenis rehabilitasi berat, kriterianya mencakup tingkat kerusakan di atas 45-65 persen dan tidak rawan banjir setiap musim hujan. Adapun untuk rehab sedang, tingkat kerusakan hanya berada pada kisaran 20-45 persen, atap menggunakan baja ringan dan dalam kondisi baik serta pada umumnya kerusakan hanya di pintu dan jendela.

Ujang Arifin, Kepala Sekretariat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang ikut mendampingi Didi menjelaskan bahwa gedung sekolah yang ada pada saat ini 46,60 persen di antaranya belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan. Padahal, ketentuan sarana penunjang sudah diatur Permendiknas No 24/2008.

"Permendiknas mengatur standar sarana prasarana sebuah gedung sekolah yang di dalamnya memuat 7 ruang sarana penunjang. Kenyataan di lapangan, 820 gedung belum dilengkapi sarana penunjang," ujarnya. Jumlah tersebut, diungkapkan Ujang, terdiri dari 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN, dan 16 SMKN.

Kondisi di lapangan juga memberikan kenyataan bahwa 18 persen gedung dalam kondisi ambruk, 22, 2 persen kondisi rusak berat, dan 13 persen kondisi rusak sedang.

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).

"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.

Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.

Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.

Masuk Pukul 6.30, Siswa dan Guru Keberatan Bangun Lebih Pagi

Senin, 24 November 2008 | 17:46 WIB

JAKARTA, SENIN - Sejumlah siswa, staf pengajar dan orang tua siswa mengaku keberatan dengan kebijakan baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Bimo Wahyu Prakoso, salah seorang siswa SMU 6 Jakarta Selatan yang ditemui Senin (24/11) mengungkapkan, pemberlakuan jam masuk lebih awal hanya akan mengakibatkan banyak siswa yang telat masuk sekolah.

"Kalau di sini (SMUN 6 Jakarta) itu ada yang namanya telat pulang. Jadi bila siswa telat, maka dia akan dipulangkan oleh bagian keamanan sekolah dan kesiswaan. Mereka dipulangkan dan tercatat ijin," katanya.

Ia menuturkan, saat sekolah masih masuk pukul 07.00 WIB ini saja, masih banyak siswa yang telat datang ke sekolah, apalagi nanti saat jam sekolah harus dimulai lebih awal setengah jam dari biasanya. "Bisa jadi bila peraturan tersebut akan diberlakukan banyak siswa yang akan telat, dan tidak akan masuk sekolah," lanjut siswa kelas III jurusan IPA 1 ini.

Hal senada diungkapkan oleh Nastassya Dean, yang masih satu sekolahan dengan Bimo. Menurutnya, usulan Pemprov harusnya tidak diterapkan kepada siswa saja. "Mestinya bila ingin mengurangi kemacetan di Jakarta itu, jumlah kendaraan saja yang dibatasi. Bukannya sekolah yang harus diberlakukan masuk lebih pagi," katanya.

Dengan pembatasan kendaraan, lanjut Tassya, maka tingkat kemacetan akan dapat ditekan. "Karena menurut saya letak kemacetan itu dikarenakan banyaknya kendaraan yang ada di jalanan di Jakarta. Sekarang saja saya berangkat dari rumah jam setengah enam pagi. Kalau jam sekolah maju setengah jam, saya harus berangkat jam lima pagi dong dari rumah," terangnya.

Senada dengan keberatan para murid, Hamid, guru sejarah yang mengajar di SMU Negeri 6 Jakarta, juga mengaku keberatan dengan kebijakan baru ini. "Biasanya saya berangkat dari rumah di Pamulang, Tangerang pukul 05.30 WIB, dan baru sampai di sekolah pukul 10.00 WIB. Bila nanti jam pelajaran lebih awal, berarti saya juga harus berangkat lebih pagi donk. Dan terus terang saya keberatan dengan itu," ujar Hamid.

Selain itu, bila peraturan tersebut jadi dilaksanakan pada awal Januari 2009 juga disayangkan oleh Hamid. "Peraturan tersebut harusnya dimulai saat tahun ajaran baru, bukan tahun baru. Jadi sebaiknya dilaksanakan pada pertengahan 2009, saat semua siswa dan aktifitas pendidikan mengawali musim belajar mengajar, supaya penyesuaian jadi lebih mudah," sambungnya.

Sementara itu, seorang wali murid mengungkapkan, kebijakan perubahan jam masuk sekolah tidak akan efektif. "Saya rasa memasukkan siswa pukul 06.30 itu kurang tepat, karena kemacetan di Jakarta sudah ada sejak pagi hari. Pukul 06.00 WIB saja jalanan di Palmerah Barat sudah macet, jadi apakah peraturan ini nantinya bakal efektif menekan kemacetan," ungkap Gunawan Cahyono yang anaknya sekolah di SMP Negeri 16 Jakarta.

Siswa SMK Dianjurkan Tidak Ikut UNPK

Kamis, 12 Juni 2008 | 20:06 WIB

BANDUNG, KAMIS - Siswa Sekolah Menengah Kejuruan tidak dianjurkan mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Kejar Paket C. Sebab, selain memiliki standar penilaian berbeda, potensi ketidaklulusan siswa SMK saat mengikuti UNPK juga besar. Kepala Bidang Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan Dinas Pendidikan Kota Bandung Dedy Dharmawan, Kamis (12/6) mengatakan, ikut sertanya siswa SMK dalam UNPK Paket C selama ini adalah sesuatu yang terkesan dipaksakan.

Adanya pelarangan tentang keikutsertaan siswa SMK dalam UNPK dipandanganya sebagai hal yang positif. "Jadi, tidak membodohi anak (SMK). Sebab, SMK itu patokannya uji kompetensi. Inilah yang tidak ada di UNPK," ucapnya. "Sebab, perangkat UNPK saat ini belum bisa mengakomodasi karakteristik SMK, maka akan lebih baik siswa mengulang ujian tahun depan jika dinyatakan tidak lulus ujian nasional," sambungnya.

Meskipun demikian, ia mengaku belum mengetahui perihal pelarangan UNPK bagi siswa SMK ini. Namun, katanya, berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir ini, potensi ketidaklulusan siswa SMK yang pindah jalur mengikuti UNPK Kejar Paket C sangatlah besar. Data akhir 2006 misalnya, sebanyak 61 persen dari 206 siswa SMK peserta UNPK Paket C ternyata gagal lulus. Bahkan, untuk pengelompokkan IPA SMK, tingkat kelulusan hanyalah 10,9 persen.

Menurut Sekretaris Disdik Kota Bandung Dadang Iradi, persoalan UNPK Paket C bagi siswa SMK adalah persoalan klise yang selama ini banyak dikeluhkan masyarakat. Secara kasat mata, sangatlah tidak sinkron aspek pembelajaran dan penilaian antara Kejar Paket C dengan SMK. Ia melihat, banyaknya siswa SMK yang mengikuti Kejar Paket C semata-mata karena ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Bukan untuk mencari kerja.

Orientasi Siswa Baru di Bandung Diseragamkan

Selasa, 15 Juli 2008 | 18:47 WIB
BANDUNG, SELASA - Kegiatan orientasi atau pengenalan siswa baru di berbagai jenjang pendidikan di Kota Bandung diseragamkan tahun ajaran baru ini. Mulai konsep, materi, hingga jadwal kegiatan disusun rigid oleh Dinas Pendidikan. Tujuannya, menghindari praktik perpeloncoan yang menjadi kekhawatiran orangtua.

Tahun ini, kegiatan pengenalan siswa baru tersebut dinamakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Waktunya pun hanya singkat, yaitu dua hari. Ketentuan ini diatur di dalam Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung No. 421.7/530-PSMTH/2008 tentang MPLS yang telah disampaikan ke sekolah-sekolah.

Berdasarkan pemantauan Senin (14/7) dan Selasa (15/7), secara umum, ketentuan ini efektif menekan praktik perpeloncoan. Kegiatan rutin tahunan ini di berbagai sekolah berjalan lebih tertib dan lancar. Di SMAN 3 dan SMAN 5 Kota Bandung misalnya, acara orientasi siswa baru lebih diarahkan pada pengenalan lingkungan sekolah, tata-tertib, dan cara belajar efektif.

Menurut Pembina OSIS SMAN 5 Kota Bandung Jafar Sidik, di tahun ini, sekolah tidak lagi leluasa menentukan materi orientasi siswa baru. Segalanya sudah diatur dinas. Kegiatan jadi lebih bersifat normatif, tuturnya. Ia bisa memahami alasan diterapkannya aturan ini. Salah satunya, guna menghindarkan perpeloncoan seperti yang dikhawatirkan para orangtua siswa.

Karena mematuhi ketentuan ini, konsep kegiatan yang telah disiapkan OSIS pun batal diterapkan. Warna disiplin pun terpaksa dihindarkan karena takut orangtua berbeda pandangan. Siswa (OSIS) pun sebetulnya kecewa, tuturnya. Diakuinya, tahun ini, acara orientasi siswa baru kurang bisa memberi kesan. Karena, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan unik dan sandiwara yang bisa memberi kesan mendalam seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dari sudut pandang orangtua siswa, seperti diungkapkan Ketua Komite SMAN 5 Kota Bandung Yana Mulyana, penyelenggaraan masa orientasi siswa (MPLS) tahun ini lebih baik dari sebelumnya. "Apa yang dikhawatirkan orangtua, kegiatan MPLS ini tidak lebih dari sebuah perpeloncoan ternyata tidak terjadi. MPLS ternyata baik dalam mengenalkan siswa kepada lingkungan dan disiplin," ucapnya.

Gara-gara Menentang UN, KPAI Diundang BSNP

Selasa, 10 Juni 2008 | 22:38 WIB

JAKARTA, SELASA - Gara-gara menentang Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN), anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diundang untuk audiensi dengan Badan Standar Nasional Pendidikan. Dalam audiensi tersebut KPAI dan BSNP berdebat tentang UN dan UASBN, Selasa (10/6).

Sekretaris KPAI Hadi Supeno mengatakan, ujian tersebut membuat seluruh konsentrasi masyarakat terpusat kepada berbagai upaya lulus ujian pilihan ganda UN dan UASBN yang sebetulnya hanya aspek kognitif pendidikan. Anak belajar dalam suasana mencekam dan ketakutan. "Tolong standar ini tidak hanya kognitif dan itu hanya untuk beberapa mata pelajaran. Namun, mampukah UN dan UASBN hasilkan anak-anak jujur dan tidak bermental korupsi? Inilah persolan terbesar bangsa ini," katanya.

Anggota BSNP tetap bersikeras bahwa penilaian itu penting. Ketua BSNP, Djemari Mardapi mengatakan, pendidikan harus diikuti penilaian yang fungsinya memotivasi kegiatan belajar peserta didik. Anggota BSNP lainnya, Djaali menambahkan, tujuan pendidikan masih sama dengan tujuan perlindungan anak. "Pembelajaran itu interaktif dan tentu harus menyenangkan, tetapi jangan cuma bersenang-senang saja. Anak harus diarahkan karena kehidupan semakin keras dan kompetitif," ujarnya.

UN, Ada yang Perlu Didiskusikan

Senin, 5 Mei 2008 | 00:49 WIB

Ester Lince Napitupulu

Penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun tak pernah berhenti menuai kontroversi. Wacana yang mencuat pada pelaksanaan ujian nasional tahun ini berada di pusaran tuntutan untuk mengevaluasi ujian nasional seperti yang diperintahkan pengadilan tinggi dan ujian nasional sebagai ujian kejujuran semua pemangku kepentingan pendidikan.

Jauh hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo gencar mewacanakan bahwa UN bukan sekadar menguji kompetensi siswa dan sekolah, namun yang justru terpenting apakah ada kejujuran selama pelaksanaannya. Pernyataan UN sebagai ujian kejujuran bagi semua pemangku kepentingan pendidikan itu bahkan ditindaklanjuti dengan ketegasan untuk memidanakan siapa saja yang berani menodai kredibilitas penyelenggaraan UN.

Ketika gong UN dimulai dengan pelaksanaan UN SMA sederajat pada 22-24 April lalu, ternyata tetap menuai masalah. Kecurangan terus terjadi dan itu semakin menegaskan bahwa peluang terbesarnya ada di sekolah, terutama oleh guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjaga citra pendidikan.

Kenyataan ini semakin menguatkan tuntutan supaya ada evaluasi serius tentang pelaksanaan UN. Kecurangan yang dilakukan guru demi alasan apa pun sepakat dinyatakan menyalahi hukum. Tetapi, gugatan kemudian berkembang, kenapa pemerintah tak juga mau mengevaluasi penyelenggaraan UN yang setiap tahun selalu membuahkan persoalan yang tidak kondusif bagi kemajuan pendidikan itu?

Yang juga dipertanyakan adalah masalah ketidakpercayaan pemerintah yang begitu besar kepada guru dan sekolah. Seakan-akan buah pendidikan yang dinilai pemerintah belum memuaskan itu harus menjadi tanggung jawab pendidik.

Sementara itu, pembelajaran yang tercipta di sekolah-sekolah lebih pada menyiapkan siswa untuk mampu lolos dari UN. Padahal, pendidikan yang diharapkan itu yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya sehingga berguna untuk kehidupan dan masa depannya kelak.

S Hamid Hasan, pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membenarkan negara dan lembaga independen melakukan evaluasi pendidikan. Akan tetapi, evaluasi yang dimaksud adalah untuk menilai kualitas satuan pendidikan. Adapun untuk menilai hasil belajar siswa, termasuk menentukan lulus atau tidak, tetap merupakan wewenang guru dalam satuan pendidikan.

”Ujian nasional menetapkan keberhasilan orang atas dasar nilai yang diperoleh saat itu atau istilahnya single score. Ini bertentangan dengan prinsip evaluasi dan konstitusi pendidikan,” ujar Hamid.

Perlu dipaksa

Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Bambang Sudibyo dengan gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah mempertahankan kebijakan UN. Penyelenggaraan UN dinilai mampu ”memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar sehingga mampu mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintah demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.

”Masyarakat kita itu perlu dipaksa dulu untuk mau belajar. Inilah mengapa UN itu mampu membuat semua pihak jadi sungguh-sungguh belajar. Jika semua sekolah sudah bagus mutunya, UN tidak diperlukan lagi,” kata Bambang.

Pemerintah, kata Bambang, sangat memahami terjadinya pro-kontra pelaksanaan UN. Kalangan yang menolak UN dinilai mungkin menganggap sekolah di Indonesia sudah cukup baik dan guru serta sekolah bisa mengukur kemampuan siswanya sendiri.

”Saya justru berkeyakinan, ujian nasional itu tetap perlu karena guru dan siswa kita masih perlu dipaksa untuk mau disiplin belajar,” kata Bambang.

Alasan lain UN dipertahankan, menurut Bambang, karena hasilnya mampu meningkatkan penilaian Indonesia di antara negara-negara internasional. Selain itu, dengan ketekunan belajar, tawuran di antara pelajar juga semakin berkurang.

Rata-rata capaian UN SMP dan SMA secara nasional terus meningkat. Pada tahun 2004 di tingkat SMP rata-rata 5,26 pada tahun lalu menjadi 7,02, sedangkan di SMA dari rata-rata 5,31 menjadi 7,14.

Penyelenggaraan UN diakui memang mampu membuat sekolah dan siswa belajar maksimal. Tetapi, belajar yang terjadi sering kali dalam bentuk drilling dan try out. Akibatnya, makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos dari ujian.

Inilah sisi lain yang perlu diperbaiki dari UN. Berbagai pihak mestinya duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

Guru Merasa Diperlakukan Habis Manis Sepah Dibuang

Selasa, 2 September 2008 | 20:11 WIB

JAKARTA, SELASA - Para guru yang baru pulang mengabdi sebagai guru tidak tetap tetap bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Sabah, Malaysia merasa diperlakukan habis manis sepah dibuang. Mereka menuntut manajemen program itu diperbaiki.

Terdapat 50 guru yang baru saja habis masa kontraknya dan kembali ke Tanah Air akhir Agustus lalu. Tadinya ada 109 guru pemerintah Indonesia tersebar di sejumlah daerah perkebunan kelapa sawit di Sabah. Mereka menyampaikan keluhan tersebut dalam jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Selasa (2/9).

Ketua Forum Guru Tidak Tetap di Sabah, Tetep Saipul mengatakan, mereka bekerja tanpa mengetahui secara jelas MoU antara pemerintah, pemerintah Malaysia, dan Humana Child Aid Society. Humana merupakan organisasi nonpemerintah pengelola pusat bimbingan belajar bagi anak TKI. Guru tidak tetap asal Indonesia yang terseleksi dan berpendidikan minimal strata satu itu kemudian ditempatkan di pusat-pusat belajar yang dikelola Humana. Mereka dikontrak selama dua tahun oleh pemerintah Indonesia.

Kondisi guru juga memprihatinkan. Sebagian dari mereka tinggal di sekolah tanpa fasilitas dasar memadai seperti keberadaan kamar mandi. Mereka juga harus mengajar multigrade. Supervisor Guru Tidak Tetap yang menangani anak-anak TKI di Sabah dari Departemen Pendidikan Nasional, Kamal Fikri mengungkapkan, para guru memang bekerja dalam kondisi yang berat dan melampui batas kewajiban mereka. Permasalahan pendidikan anak TKI di Malaysia sangat kompleks, ujarnya.

Akan tetapi, pengabdian mereka tersebut tidak berbalas pengalaman manis. Gaji mereka kemudian menjadi persoalan. Mereka seharusnya mendapat Rp 6.032.000 per bulan. Namun, yang diterima hanya Rp 4.937.500 lantaran dipotong administrasi pembelajaran sebesar Rp 1.050.000. Padahal, guru-guru tidak merasakan hasilnya, begitu pula dengan potongan asuransi yang menurut guru tidak banyak bermanfaat. Guru juga tidak mendapatkan pelayanan yang layak dari Malaysia . Saat sakit mereka harus mengeluarkan biaya lagi. Padahal, biaya asuransi setiap guru berjumlah 800 RM atau sekitar dua juta rupiah. Salah seorang guru, Murnilawati, bahkan sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan. Rapelannya baru diterima sesampainya di Indonesia dan itupun setelah diklaim, ujarnya. Sebagai guru tidak tetap, nasib mereka sepulangnya ke tanah air juga belum ada kejelasan atau menjadi pengangguran.

Kepergian mereka ke Malaysia dengan seremonial meriah dan diantarkan para pejabat Departemen Pendidikan Nasional, Wakil Presiden RI dan Menteri Pendidikan Nasional. Namun, proses pemulangan mereka jauh berbeda. Tidak ada satu pun pejabat dan tim dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas yang menyambut mereka di Sabah seperti saat pemberangkatan dulu. Mereka juga sempat kekurangan dana kepulangan sehingga supervisor mereka harus meminjam uang sekitar 2.000 RM dari Humana.

Sesampainya di Jakarta, tempatnya di Wisma Handayani, hanya dua orang staf PMPTK yang menyambut dan diakhiri ucapan terima kasih serta pemberian surat keterangan telah melaksanakan tugas di Sabah. "Setelah itu pergi meninggalkan kami di wisma sampai saat ini. Kami merasa sebagai guru, habis manis sepah dibuang," ujar Khoerul Wajid yang juga wakil Koordinator Batch I program itu. Agar terdapat perbaikan, mereka meminta adanya evaluasi komprehensif terhadap program pengiriman guru untuk anak TKI di Sabah, Malaysia baik mengenai keberadaan anak TKI maupun guru yang mengabdikan diri di sana.

Siswa Belajar Lesehan

Rabu, 4 Maret 2009 | 16:18 WIB

LAMONGAN, RABU — Meskipun luapan Bengawan Solo surut, sejumlah sekolah di wilayah Kecamatan Widang Kabupaten Tuban dan Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan hingga Rabu (4/3) masih tergenang. Sekolah yang tergenang itu di antaranya SMK 2 Widang, MIMA dan SMA NU Laren, SMP Negeri 2 Laren, MI Toriqotul Hidayah Centini dan SD Simorejo, Centini dan Durikulon.

Ada sekolah yang meliburkan siswanya. Namun, ada sekolah yang tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar meskipun harus mengungsi ke sekolah lain. MI Toroqotul Hidayah memilih meliburkan siswa kelas I-III dan kegiatan belajar mengajar untuk kelas IV hingga kelas VI dilangsungkan di TK Muslimat 08 Laren dengan lesehan.

Kepala MI Toriqotul Hidayah Centini Khoirul Anam ditemui di sela-sela mengajar mengatakan, sekolahnya memiliki 219 siswa. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke TK Muslimat yang masih satu yayasan sekitar 150 meter dari MI yang tergenang.

Kelas IV ada 43 siswa, kelas V 33 siswa, dan kelas VI 54 siswa. "Ya, anak-anak terpaksa belajar darurat seperti ini karena sekolah terendam. Yang penting mereka tetap sekolah karena ruangan TK terbatas ya hanya kelas IV sampai kelas VI yang lain diliburkan," tutur Khoirul Anam.

Sementara itu, SD Inpres Centini hanya melaksanakan kegiatan belajar-mengajar untuk kelas VI, kelas I sampai kelas V diliburkan. Salah seorang guru SD Inpres, Centini Kaswoto, mengatakan, sebanyak 18 siswa kelas VI diupayakan tetap masuk karena untuk persiapan khusus ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN).

Sementara itu, genangan di SMP Negeri 2 Laren dan SMA NU masih tinggi. Kegiatan sekolah khusus kelas akhir dialihkan di Kecamatan Sekaran. SMP Negeri 2 Laren melaksanakan KBM di MIMA Kendal, sedangkan SMA NU di SD Kedalon. Para siswa ke sekolah dengan jalan kaki atau naik perahu melintasi genangan.

Posisikan Siswa Secara Proporsional

Terpisah Direktur The Nagg Nafik pada Diklat Kepemimpinan Profesional Pengawas TK, SD, dan SD Luar Biasa di Lamongan, Rabu (4/3), mengatakan, sistem pembelajaran yang umumnya dilakukan di kelas-kelas selama ini lebih berorientasi pada target penguasaan materi. Meski metode ini terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Menurut Nafik, saat ini pendidikan masih didominasi pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. "Guru masih menjadi pusat pengetahuan, ilmu, dan sebagainya, sementara ceramah masih menjadi pilihan utama strategi pembelajaran," katanya.

Nafik mengenalkan konsep belajar dengan strategi beyond centers and circle time (BCCT). Konsep tersebut adalah konsep belajar di mana guru-guru menghadirkan dunia nyata dalam kelas sehingga mendorong siswa untuk bisa menghubungkan pengetahuan yang diterimanya dengan dunia nyata. "Dengan metode itu, pengetahuan yang diperoleh siswa bisa dijadikan bekal dalam dunia nyata, baik di masa sekarang, maupun di masa yang akan datang," paparnya.

Menurut Nafik, dunia anak adalah dunia bermain. Maka sudah selayaknyalah konsep pendidikan untuk anak usia dini dirancang dalam bentuk bermain. "Pada intinya, bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain. Sudah saatnya metode pengajaran menempatkan siswa pada posisi yang proporsional," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Musthafa Nur berharap agar peserta diklat tersebut bisa menyerap semua pengetahuan yang disampaikan. "Dengan menerapkan metode pembelajaran yang pas diharapkan akan menghasilkan siswa dengan pengetahuan yang memadai saat siswa dihadapkan pada persoalan kehidupan sehari-hari," katanya.


ACI

Standar UN Dinaikkan, Sejumlah Guru Mengaku Tak Sanggup

Senin, 14 April 2008 | 20:24 WIB

PURBALINGGA, SENIN-Sejumlah guru sekolah menengah atas di Purbalingga dan Banyumas mengaku tak sanggup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional yang akan diselenggarakan 22 April mendatang. Hal itu menyusul naiknya standar UN dari 5,00 menjadi 5,25 ditambah dengan bobot soal yang cukup sulit.

Prasetyo, guru SMA Negeri 1 Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Senin (14/4), mengaku, tak hanya siswa yan g pusing menghadapi UN kali ini, para guru juga dibuat pusing. Terlebih lagi, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bertambah dari empat mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran.

Pelaksanaan UN, menurutnya, juga lebih cepat satu bulan dibandingkan tahun lalu yang diselenggarakan pada bulan Mei. Akibatnya, guru harus memadatkan mata pelajaran. "Karena dengan dimajukannya pelaksanaan UN pada bulan April ini, proses belajar mengajar satu semester hanya efektif berlangsung selama lima bulan," tuturnya.

Karenanya, dia mengaku pesimistis dapat mempersiapkan siswanya agar bisa lulus UN seluruhnya pada tahun ini. Tahun kemarin saja, ada 80 siswa dari 140 siswa di sekolah kami yang tidak lulus. "Bagaimana dengan sekarang," ujarnya.

Salah seorang pengurus Forum Interaksi Guru Banyumas, Agus Wahyudi, juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, hampir seluruh SMA yang berada diluar Kota Purwokerto belum siap menghadapi UN tahun ini dengan standar yang terlampau tinggi. Contohnya pada tahun 2007, 25 persen sisw a SMA di Kecamatan Patikraja dan Rawalo tak lulus UN.

Sudah banyak guru SMA yang mengeluh dengan standar UN sekarang ini, terutama untuk SMA negeri yang berada di pinggiran kota maupun swasta. Mereka belum mampu karena kapasitas siswanya sendiri pun terba tas. "Hal itu sangat terlihat dari standar nem (nilai evaluasi murid) siswa yang masuk ke sekolah itu," tuturnya.

Meningkatnya standar kelulusan UN, lanjut Agus yang juga guru di SMA Negeri 1 Purwokerto, juga tak hanya membuat sulit guru dan siswa, melainkan juga orang tua siswa. Dengan standar kelulusan yang dinaikkan, para orang tua siswa pun harus mengeluarkan biaya lagi untuk meleskan anaknya di bimbingan belajar. "Biayanya untuk ini, tentu saja tidak sedikit," ucapnya.

Agus mengatakan, sejak pertama kali pun dirinya sudah meminta kepada pemerintah agar UN ditiadakan. Penerapan UN sama saja bertentangan dengan nilai pembelajaran. Nilai pembelajaran itu kan bagaimana guru mentransformasikan pengetahuan kepada siswa, dan bagaimana siswa memahaminya. "Bukan malah siswa diwajibkan untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda, dan mendapat nilai," tuturnya. (MDN)

Sertifikasi Guru Perlu Dibenahi

Jumat, 9 Januari 2009 | 19:59 WIB

JAKARTA, JUMAT — Pelaksanaan uji sertifikasi bagi guru dalam jabatan perlu segera dibenahi supaya tidak merugikan hak-hak para pendidik. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyelenggaraan uji sertifikasi guru secara efektif dan efisien sehingga sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia bisa menjadi guru profesional pada 2015.

Pembenahan untuk uji sertifikasi guru ini perlu dilakukan mulai dari pemerintah hingga lembaga pendidik dan tenaga kependidikan atau LPTK yang menilai portofolio guru. "Jangan sampai karena kinerja yang lambat, justru guru yang dirugikan. Banyak para guru yang akhirnya tidak mendapat tunjangan sertifikasi satu kali gaji per bulan yang tidak utuh," kata Sulistiyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Se-Indonesia yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (9/1).

Menurut Sulistiyo yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang, pemerintah harus bisa menyelesaikan uji sertifikasi untuk guru sebelum akhir tahun supaya pada awal tahun berikutnya guru sudah bisa mendapatkan tunjangan profesi karena telah memiliki sertifikat guru profesional seperti yang disyaratkan Undang-undang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan uji sertifikasi, mulai dari penyerahan portofolio, penilaian, pengumuman, hingga penyerahan sertifikat pendidik sering terlambat dari target waktu yang ditetapkan.

"Perlu juga ditambah lagi LPTK penyelenggara sertifikasi supaya pelaksanaannya berkualitas dan sesuai jadwal. Pemilihan LPTK ini harus yang memenuhi kualifikasi supaya guru profesional yang dihasilkan memang sesuai yang dibutuhkan untuk perbaikan mutu pendidikan saat ini," kata Sulistiyo.

Adapun untuk pendidikan profesi guru yang akan dimulai tahun ini, kata Sulistiyo, pesertanya harus diutamakan dari lulusan LPTK. Hanya untuk guru bidang studi yang memang sulit ditemukan di LPTK saja yang seharusnya dibuka untuk lulusan perguruan tinggi umum. "Ini supaya tidak jadi preseden jika profesi guru hanya untuk mereka yang sulit mencari pekerjaan lain. Profesi guru harus lahir dari orang-orang yang siap menjadi guru berkualitas," jelas Sulistiyo.

Achmad Dasuki, Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, mengatakan, pembenahan untuk uji sertifikasi guru terus dilakukan. Supaya tidak lagi tersentral di Depdiknas, pelaksanaan sertifikasi diserahkan kepada pemerintah provinsi.

UN Jangan Jadi Acuan

Senin, 19 Mei 2008 | 00:42 WIB

PALUPI PANCA ASTUTI

Sebagai bagian dari komponen evaluasi pendidikan, publik setuju apabila ujian nasional dipakai sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ujian nasional sebaiknya jangan dijadikan acuan atau dasar kelulusan siswa, tetapi kelulusan siswa mengikuti standar sekolah yang bersangkutan.

Hal itu terangkum dalam jajak pendapat terhadap 871 pemilik telepon rumah di 10 kota besar pada 7-9 Mei 2008. Sebanyak 70 persen responden setuju apabila ujian nasional (UN) dilaksanakan dengan tujuan penyeragaman mutu pendidikan. Meski demikian, 75 persen responden mengingatkan hal ini menjadi tugas berat pemerintah karena beragamnya mutu pendidikan di Tanah Air.

UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik.

Dilaksanakannya UN membuat sekolah-sekolah melakukan model belajar drilling, memaksa peserta didik terus-menerus berlatih soal mata pelajaran yang akan diujikan. Siswa dipaksa menghafal beragam tipe soal dan rumus, tanpa harus memikirkan logika soal yang dihadapi atau kritis terhadap permasalahan yang ia hadapi. Potensi otak yang sangat luar biasa pun menjadi terlatih berpikir konvergen, yaitu berpikir secara menyempit. Setiap masalah yang muncul hanya butuh satu jawaban, tak ada alternatif. Sekolah hanya sebagai tempat ujian, bukan wahana mengasah akal budi.

Di sisi lain, penyamarataan soal-soal UN merugikan sekolah dan peserta didik yang belum mencapai taraf pembelajaran setingkat yang diujikan UN.

UN per jenjang

Jika melihat kenyataan mutu pendidikan Indonesia yang bervariasi, semestinya evaluasi pendidikan tidak bersifat standar di seluruh daerah. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 2006-2007 sekitar 285.000 guru sekolah menengah atas (SMA) memiliki tingkat pendidikan akhir yang beragam mulai dari diploma tiga (D-3) hingga strata 1 (S-1).

Namun, kenyataan itu tidak memengaruhi pendapat publik tentang perlunya ujian nasional dan keseragaman soal dalam UN. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju pelaksanaan UN di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak daripada yang tidak setuju. Jika dilihat per jenjang, hanya 11 persen responden tidak setuju terhadap pelaksanaan ujian nasional SMA. Sementara pada sekolah menengah pertama (SMP) kurang dari sepertiga responden tidak setuju UN. Hanya terhadap pelaksanaan UN di jenjang sekolah dasar (SD) publik tampak ragu. Di kategori ini, meski jumlah yang setuju tetap lebih besar, yaitu 60 persen, selebihnya menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu.

Walaupun indikasi setuju cukup kuat, hal ini tidak menutupi keresahan publik. Tidak semua sekolah telah mencapai kompetensi seperti yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, terhadap standardisasi tingkat kesulitan butir soal, tanggapan responden cukup berimbang. Mereka yang setuju terhadap penyeragaman soal sekitar 53 persen dan yang tidak setuju mencapai 45 persen.

Di samping itu, menurut teori kecerdasan majemuk dari Gagne, tidak semua orang berpotensi menjadi ahli Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang diujikan dalam UN. Bagi jago olahraga, misalnya, UN adalah monster. Hal itu karena jika mereka tak lulus UN, pupuslah langkah mereka ke pendidikan berikutnya.

Penggunaan hasil nilai UN untuk menentukan kelulusan ditanggapi secara kontroversial oleh publik. Responden yang menerima 49,6 persen dan yang menolak 49,7 persen. Mereka yang menolak, terutama tergambar pada orangtua yang memiliki anak yang bersekolah di SLTA dan kalangan responden berpendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendapat setuju lebih banyak dilontarkan responden berpendidikan SLTP ke bawah.

UN, sesuai namanya, adalah bagian dari evaluasi pendidikan secara nasional. Namun, jika UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa, ia bisa dianggap algojo yang mengeksekusi nasib dan masa depan ribuan siswa yang tidak lulus. (Litbang Kompas)

Pendidikan Gratis Dikaji DPR

Kamis, 17 April 2008 | 12:25 WIB

JAKARTA, KAMIS - Pendidikan gratis atau tanpa dibiaya, terutama di tingkat pendidikan dasar sedang dikaji Komisi X DPR. Namun, pembahasan ini masih terkendala penetapan besarnya ideal cost biaya pendidikan setiap siswa per tahun.

"Pendidikan gratis masih dibahas. Tapi masih belum sepakat soal besarnya biaya pendidikan ideal per siswa setiap tahun. Namun,kebijakan pendidikan gratis ini harus mulai serius dibahas," kata Cyprianus Aoer, anggota Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (17/4).

Menurut Cyprianus, soal penganggaran pendidikan ini masih terkendala dengan belum adanya komitmen untuk bisa memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen pendidikan dari APBN. Akibatnya, banyak program pendidikan yang kurang maksimal dan masih membebani masyarakat.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Dan Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar, mengatakan, pemerintah provinsi DKI Jakarta terus memprioritaskan pendidikan. APBD sudah mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan.Namun, Margani mengakui jikka beban biaya pendidikan yang masih ditanggung masyarakat di DKI Jakarta masih cukup besar, berkisar 30-35 persen. "Tapi peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus melalui prosedur persetujuan komite sekolah," kata Margani. (ELN)

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan

Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen

Mendiknas: Munafik, Media Massa Tak Dukung UU BHP

Senin, 16 Februari 2009 | 09:34 WIB

Laporan wartawan Kompas Ester Lince Napitupulu

JAKARTA, SENIN — Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yayasan dan lembaga pendidikan harus transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan. Laporan soal pembiayaan pendidikan yang sudah diaudit profesional itu mesti diumumkan secara terbuka melalui media massa.

"UU BHP ini membawa berkah buat media massa nasional. Sebab, laporan keuangan BHP harus diumumkan kepada publik lewat media massa. Makanya, munafik jika media massa nasional yang menolak UU BHP. Perguruan tinggi swasta jangan pasang pengumuman audit keuangan di media massa yang tolak UU BHP," ujar Bambang yang tampil sebagai pembicara kunci dalam seminar nasional yang digelar Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Senin (16/2).

Bambang mengatakan, bagi yayasan diberikan waktu enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan tata kelola dan pendanaan BHP Penyelenggara (BHPP). Pemilik yayasan masih bisa dominan, tetapi tetap harus bisa mewadahi berbagai representasi banyak pihak. "Perlu perubahan dalam anggaran dasar dari yayasan yang ada. Sifat dari BHPP ini harus nirlaba," kata Bambang.

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas

Rabu, 5 Maret 2008 | 20:39 WIB

JAKARTA, RABU - Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.

Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.

Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan.

Mendiknas Canangkan Pendidikan Gratis di Sulsel

Jumat, 6 Juni 2008 | 17:01 WIB

MAKASSAR, JUMAT - Menindaklanjuti janji-janji kampanye Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Jumat (6/6), di Makassar mencanangkan pendidikan gratis untuki provinsi tersebut.

Pencanangan ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Mendiknas di Rumah Jabatan Gubernur, disaksikan Syahrul Yasin Limpo. "Inilah provinsi pertama yang serius melaksanakan pendidikan gratis," ujar Mendiknas Bambang Sudibyo.

Semula, pencanangan hanya dirancang sebagai uji coba pada 11 kabuapten/kota. Namun, kemarin sudah tercakup langsung 23 Kabupaten/kota se-Sulsel. Mendiknas mengharapkan pelaksanaannya berjalan dengan baik dan berhasil sehingga Sulsel kelak dijadikan model secara nasional.

Komponen-komponen pembiyaan yang digratiskan yaitu pembayaran seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru; pembelian buku teks pelajaran buku referensi lainnya; pembelian bahan-bahan habis pakai; pembiayaan kegiataan kesiswaan; pembiayaan ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah; pengembangan profesi guru; pembiayaan perawatan sekolah; pembiayaan langganan daya dan jasa (listrik,air,telepon); pembiayaan honorarium bulanan guru honorer dan tenaga pendidikan honorer sekolah; pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin dari dan ke sekolah.

Khusus untuk pesantren dan sekolah keagamaan nonmuslim, pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan peralatan ibadah; pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis: alat tulis kantor, penggandaan, surat menyurat dan lain-lain; insentif bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.

Bila terdapat sisa dana dan mencukupi, akan digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran dan mobiler. Pada kesempatan tersebut Mendiknas menyerahkan bantuan mobil Taman Bacaan Tahap Pertama kepada 7 kabupaten di Sulsel yaitu Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, Wajo, Bone, dan Pangkep.

Gresik Resmikan Sarana Pendidikan Senilai Rp 17,6 Miliar

Rabu, 4 Juni 2008 | 16:31 WIB

GRESIK, RABU- Bupati Gresik Robbach Ma'sum, Rabu (4/6), meresmikan 396 sarana pendidikan yang tersebar di 69 sekolah negeri dan 330 lembaga pendidikan swasta. Sarana pendidikan termasuk gedung sekolah, laboratorium, dan taman pendidikan Al Quran didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gresik senilai Rp 17,6 miliar. Penandatanganan prasasti dipusatkan di Aula Sunan Giri SMA Negeri 1 Gresik.

Robbach berharap, seluruh sarana yang dibangun bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dan sumber daya pendidik lebih ditingkatkan. Para kepala sekolah harus selalu memperbaiki manajemen pendidikan di sekolah masing-masing. "Kalau perlu metode dalam mempersiapkan materi pendidikan setiap guru selalu diperbaiki, jangan sampai tetap seperti zaman dulu," kata Robbach.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik Husnul Khuluq menambahkan, kualitas pendidikan di Gresik saat ini lebih baik dibanding kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007 biaya pendidikan yang dikeluarkan dari APBD sebesar Rp 77,216 miliar atau 22,5 persen dari APBD. "Jumlah tersebut tidak termasuk gaji guru sehingga Gresik menganggarkan pendidikan lebih dari 20 persen sebagaimana amanat undang-undang," kata Khuluq.

Menurut dia, biaya yang besar serta pembangunan sarana dan prasarana yang telah dianggarkan oleh APBD harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. "Yang terpenting keterjangkauan pendidikan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai ada anak orang tidak mampu tidak sekolah atau tak mampu membayar sekolah di Gresik," katanya.


Mutu Pendidikan Terpengaruh

Pemotongan Anggaran Perlu Ditinjau Kembali
Jumat, 29 Februari 2008 | 00:53 WIB

Jakarta, Kompas - Pemotongan anggaran pendidikan sebesar 15 persen akan mengganggu pelayanan publik di bidang pendidikan dan berpengaruh terhadap mutu pendidikan yang sudah dicapai. Di sisi lain, tidak ada jaminan anggaran pendidikan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.

”Pengurangan anggaran pendidikan berdampak panjang. Kualitas pendidikan kita yang sudah rendah akan bertambah parah,” ujar Ketua Harian Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia yang juga mantan rektor Universitas Negeri Jakarta, Prof Sutjipto, Kamis (28/2).

Anggaran Departemen Pendidikan 2008 yang semula Rp 49,70 triliun turun menjadi Rp 42,24 miliar dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2008. Angka itu bahkan lebih kecil dari anggaran tahun 2007 sebesar Rp 44,1 triliun.

Dia mengatakan, pemerintah harus sadar betapa pentingnya pendidikan. Selama ini, kesadaran akan arti penting pendidikan baru sebatas wacana, tetapi tidak demikian realitas politik yang sebenarnya.

Sebagai gambaran, pada akhir tahun 2007, masih terdapat ruang kelas SD/MI yang rusak sebanyak 91.064. Jumlah ruang kelas SMP yang rusak sebesar 20.223.

Perpustakaan yang katanya jantung pendidikan itu hanya dimiliki oleh 27,6 persen sekolah dasar. Ketersediaan tenaga pengajar berkualitas juga menjadi masalah. Jumlah guru berkualifikasi di bawah S-1 dan D-4 masih tinggi, yakni 1.457.000 orang atau sekitar 58,3 persen.

Untuk akses pendidikan dasar misalnya, daerah yang angka partisipasi kasar atau APK level SMP masih kurang dari 80 persen sebanyak 111 kabupaten/kota dan tujuh provinsi hingga akhir 2007. Masih terdapat daerah yang pencapaian APK SMP di bawah 50 persen, seperti Kabupaten Te- luk Bintuni di Papua Barat dengan APK SMP sederajat baru 46,92 persen dan Kabupaten Yahukimo di Papua dengan APK 48,32 persen. Data tersebut dipresentasikan dalam acara Rembuk Nasional Departemen Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu.

Sangat menyedihkan

Menurut Sutjipto, pemerintah tidak bisa lagi memperlambat laju pembangunan pendidikan. Kondisi pendidikan saat ini sudah sangat menyedihkan. Anggaran negara seharusnya untuk menyejahterakan rakyat, dan salah satunya melalui penyelenggaraan pendidikan.

Sutjipto menambahkan, pada tataran manajemen, Departemen Pendidikan Nasional masih harus membuktikan prioritas, efektivitas, dan pelaksanaan rencana strategis dari penggunaan anggaran pada tingkat praktis.

”Kultur yang melekat itu terkadang kultur lama yang kerap dianggap tidak efisien dan efektif sehingga manajemen harus juga dibenahi,” katanya.

Daerah juga bukan mustahil akan terkena dampak dari pemotongan anggaran tersebut. Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta Margani mengatakan, terdapat dana-dana yang bersumber dari pemerintah pusat. Dana itu antara lain bantuan operasional mutu atau BOM, blockgrant seperti untuk buku, dan pelatihan peningkatan kualitas guru.

Di DKI Jakarta, komposisi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat dan daerah ialah satu banding empat. ”Untuk DKI Jakarta, boleh jadi tidak terlalu berpengaruh karena porsi terbesar anggaran pendidikan bersumber dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, daerah-daerah yang mengandalkan sebagian besar anggaran dari pemerintah pusat akan lebih terpengaruh,” ujarnya. (INE)

Pendidikan yang Menyesatkan

Jumat, 2 Mei 2008 | 00:26 WIB
Darmaningtyas

Praksis pendidikan nasional kian kering dan cenderung menyesatkan. Hal itu karena terlepas dari proses kebudayaan dan lingkungan sosial yang ada.

Substansi pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia (Ki Hadjar Dewantara) atau sebagai proses pemanusiaan manusia (Driyarkara) justru terabaikan oleh berbagai persoalan teknis, manajerial, dan birokrasi. Padahal, ketiga masalah itu seharusnya hanya menjadi penopang substansi pendidikan, bukan sebaliknya. Tetapi, perhatikan pidato birokrat pendidikan di negeri ini, semua hanya bicara masalah teknis-manajerial.

Fenomena tragis itu bermula dari istilah yang dikembangkan dunia pendidikan berasal dari istilah manajemen industri/ekonomi. Istilah-istilah itu terus diproduksi, lalu menjadi wacana dan secara substil membentuk watak baru institusi maupun praksis pendidikan nasional.

Istilah ekonomi

Awalnya istilah ”SDM” (sumber daya manusia) yang diadopsi mengganti kata ”manusia”. Istilah ini banyak dipakai sejak Wardiman Djojonegoro menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya jarang menggunakan istilah itu. Kata SDM hanya digunakan dalam konteks ekonomi saja.

Dalam wawancara pribadi (1998), Fuad Hassan menjelaskan, istilah manusia itu lebih kompleks dan multidimensi daripada SDM yang lebih bersifat ekonomis dan dapat dieksploitasi. Mengganti kata manusia dengan SDM sama dengan mereduksi harkat kemanusiaan.

Penggunaan istilah SDM sejalan dengan konsep pendidikan link and match. Pada kurun waktu yang sama, demam globalisasi mewabah dan menjangkiti pejabat Indonesia, terlebih sejak KTT APEC di Bogor (1994). Penggunaan kata SDM diiringi kata-kata: unggul, nilai tambah, kompetensi, kompetisi, pasar, daya saing, dan lainnya. Berbagai pidato pejabat selalu merangkai kata-kata ”menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi unggul atau nilai tambah untuk berkompetisi atau bersaing di pasar global”. Sejak itu, terminologi di korporasi menjadi terminologi sah dunia pendidikan nasional.

Reformasi politik (Mei 1998) bukan mengoreksi, justru memperkaya kekeliruan. Istilah manajemen industri yang diadopsi konsultan dan birokrat pendidikan bertambah banyak, seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), produktivitas, sertifikasi, standardisasi, standar nasional, standar internasional, Sertifikat ISO, Dewan Audit, dan Majelis Wali Amanah.

Bersamaan penambahan istilah manajemen, kian kuat pula upaya pembentukan watak atau karakter institusi/praksis pendidikan menjadi korporasi, yang diikuti perubahan mindset orang- orang di dalamnya. Praksis pendidikan lalu tidak mengarah kepada pencerdasan dan pemerdekaan bangsa, atau pemanusiaan manusia, tetapi lebih melayani kepentingan pemilik kapital. Kebijakan maupun substansi pendidikan yang dikembangkan pun cenderung memperkaya ekonomi maupun budaya negara pemilik kapital dengan memiskinkan (ekonomi maupun budaya) bangsa sendiri.

Pembelajaran bahasa asing sejak TK dan SD demi standar internasional merupakan bentuk kolonialisasi atas bahasa dan budaya lokal yang seharusnya dikembangkan oleh praksis pendidikan. Demikian pula mengukur kemajuan pendidikan hanya dari satu unsur juga amat menyesatkan karena mengabaikan aspek ketahanan pangan, papan, sandang, dan budaya. Kenyataannya, manusia dapat hidup tanpa teknologi informasi asal ketahanan pangan, sandang, papan, dan budayanya terjaga.

Gejala praksis pendidikan yang menyesatkan itu juga tampak dari berbagai kebijakan. Demi efisiensi, misalnya, bidang-bidang studi humaniora atau agro yang sedikit peminat harus ditutup. Sulit membayangkan bila suatu nanti Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta harus tutup karena dinilai tidak efisien dan jumlah mahasiswanya lebih sedikit dari jumlah dosennya.

Praksis pendidikan sebagai proses kebudayaan seperti diletakkan Ki Hadjar Dewantara hilang sama sekali, itu terlihat dari perubahan nama dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namanya bertambah panjang, tetapi cakupannya kian sempit karena sebatas manajerial saja.

Melegitimasi kekeliruan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan nasional justru melegitimasi kekeliruan cara berpikir yang mengarah pembentukan korporasi pendidikan. Gagasan UU Sisdiknas adalah untuk membentuk korporasi pendidikan. Banyak pasal dalam UU Sisdiknas mengamanatkan pentingnya sertifikasi, standardisasi (nasional dan internasional), pembentukan badan hukum, dan hal-hal di luar pendidikan.

Istilah ”guru” tidak lagi ditemukan lagi dalam UU Sisdiknas karena diganti kata ”pendidik”. Padahal, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari pengajar. Seorang guru adalah ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, dan pemimpin spiritual. Etimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Jadi, guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran (Anita Lie, 2008).

Keberadaan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan kian menyesatkan karena substansi RUU BHP lebih menyangkut tata kelola lembaga pendidikan yang diarahkan mengikuti tata kelola korporasi. Seluruh istilah yang dipakai dalam pasal RUU BHP adalah istilah korporasi sehingga bila disahkan menjadi UU, otomatis membentuk watak lembaga pendidikan identik dengan korporasi. Atas dasar itu, RUU BHP tidak layak disahkan menjadi UU BHP dan harus ditolak. Praksis pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan dengan cara mengembalikan terminologi yang dipakai/dikembangkan adalah terminologi pendidikan dan kebudayaan, bukan terminologi manajemen korporasi.

Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa di Yogyakarta

Sekolah sebagai Tempat Pencerdasan Anak Bangsa

Rabu, 2008 Desember 17

Pada bahasan yang lalu kita telah membahas tentang pendidikan keluarga. Setelah pendidikan setelah keluarga kita akan menghadapi pendidikan sekolah. Di lihat dari posisinya, pendidikan sekolah berada diantara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi demikian mengandung arti bahawa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar, pencerdasan, dan penerapan nilai budaya (transmission ) nilai-nilai cultural (spiritual kemanusian) yang telah membenih didalam kehidupan keluarga ke dalam kedalam setiap aspek hidup dan kehidupan.

Artinya bahwa peran pendidikan sekolah wajib mengolah benih nilai moral-spritual kemanusian dari keluarga menjadi kecerdasan intelektual. Adapun kecerdasan intelektual mengandung isi nilai kebenaran yang bersifat rasional, logika dan empirical. Menurut berbagai pendapat bahwa orang terdidik yang cerdas daya inelektualnya (educated person). Orang terdidik berarti ahli, menguasai suatu bidang studi (competent), mempunyai daya kreativitas dan inisiatif dengan kemampuan mengembangkan asumsi-asumsi dan pendapat-pendapat untuk kemudian disusun menjadi sebuah teori yang benar dalam lingkup bidang studinya.

Teori yang benar adalah terukur atau ada indikator baik secara rasional maupun empiric. Oleh sebab itu, ilmuwan bukan hanya ahli menyusun teori saja, tapi juga harus mampu dan mau mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu berarti ilmuwan dituntut untuk menjalankan suatu sikap dan perilaku ilmiah (sesuai dengan teori keilmuwannya itu). Sikap dan perilaku ilmiah secara konkret dapat berwujud dalam perilaku jujur dan adil. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan juga dituntut untuk cakap (capable) dan terampil (skillful) dalam mengamalkan ilmunya didalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap ilmuwan bersikap dan berperilaku ilmiah, diharapkan mereka menjadi model percontohan bagi masyarakat luas.

Perlu kiranya bagaimana lembaga pendidikan sekolah mengelola system pembelajaran untuk membangun sumber daya manusia yang cerdas intelektual, ilmiah, yaitu ahli dalam bidangnya, cakap, terampil, mandiri, kereatif, berbudi pekerti luhur dan jujur atau adil dalam bersikap dan berperilaku. Untuk mencapai sasaran itu, sedikitnya dua hal yang harus dipersiapkan, yaitu materi pem-belajaran dan pengelolaanya.

Pertama, materi pembelajaran perlu diorganisasikan da-lam bentuk kurikulum, dan disusun secara berjenjang me-nurut sasaran-sasaran konkret. Pengorganisasian kurikulum disusun berdsarkan pada sistem penjenjangan pendidikan sekolah, yaitu pendidikan dasar (9 tahun), menengah (3 tahun), dan pendidikan tinggi (4 tahun). Untuk jenjang pendidikan dasar, organisasi kurikulum disusun dengan sasaran utama pembinaan keterampilan hidup (life skil).

Cakup materi pembelajaran yang dominant pada muatan lokal merupakan intisari dari potensi lingkung-an sosial budaya dan lingkungan alam daerah setempat. Untuk jenjang pendidikan menengah, sasaran utamanya adalah pembinaan kecakapan hidup (life ability). Cakupan materi pem-belajaran tetap dominan pada muatan lokal, tapi perlu diperluas. Sedangkan kurikulum pendidikan tinggi sasaran utamanya adalah pembinaan kecerdasan hidup (life educated). Cakupan materi pembelajaran dominan pada muatan nasional bahkan internasional.

Kedua, sistem organisasi administrasi manajemen pendidikan perlu direkonstruksi, dengan lebih melibatkan potensi masyarakat. Artinya, pengelolaan pendidikan sekolah dilakukan bersama antara sekolah dan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini Departemen pendidikan, berperan sebagai fasilitator dan tidak perlu campur tangan terlalu jauh.

Pengelolaan pendidikan dikembalikan kepada sekolah itu sendiri, dengan sistim otonomi sekolah. Untuk itu, organisasi “Komite Sekolah” perlu disusun kembali berdasarkan pada filosofi bahwa pendidikan sekolah adalah institusi sosial, dari masyarakat, oleh, dan untuk masyarakat. Oleh sebab itu, komite sekolah perlu dilibatkan dalam segala usaha peningkatan mutu pendidikan, misalnya kepengawasan dalam batas tertentu dan khususnya masalah penghimpunan biaya pendidikan.

Kemudian, manajemen pembelajaran perlu diper-baharui pola dasarnya dengan orientasi sentral pada subjek pembelajar (student centred orientation). Model pola pembelajaran demikian diharapkan dapat memerankan pembelajaran secara aktif, sehingga potensi kreativitas dapat dieksplorasi secara optimum. Untuk itu, diperlukan pembimbing atau guru yang kompeten dan sistem administrasi manajemen pendidikan yang demokratik-partisipatif. Di samping itu, untuk menunjang kelancaran belajar, perlu ketersediaan sarana yang memadai.

Jika organisasi kurikulum dan system manajemen pembelajaran tersebut dapat diselenggarakan, diharapkan dapat dihasilkan luaran yang berkualitas dalam hal kecerdasan intelektual, kecerdasan sikap, dan kecerdasan perilakunya. Secara akumulatif, kualitas luaran dimaksud adalah pribadi terdidik yang cerdas, cakap, terampil, mandiri, dan memiliki daya kreativitas tinggi untuk pembaruan kehidupan masyarakatnya.

GURU YANG SEJAHTERA DAN PROFESIONAL AKAN

MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN