Senin, 16 Maret 2009

Bagaimana Memahami Kurikulum Pendidikan?

Surjanto Budiwalujo

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal mengatakan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru akan dimulai pertengahan 2006 (Kompas, 27 Februari 2006). Di lain pihak, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro menegaskan bahwa tahun 2006 direncanakan ada pergantian kurikulum, yaitu berupa kurikulum hasil kreasi guru di sekolah.

Dua pernyataan dari petinggi pendidikan itu sekilas memberikan harapan bahwa dengan sertifikasi guru dan kebebasan guru dalam mengembangkan kurikulum dapat membawa perbaikan mutu pendidikan kita. Rasanya penulis tidak begitu optimis dengan pernyataan tersebut jika guru atau calon guru tidak memiliki kompetensi manajemen pengembangan kurikulum dan dasar-dasar manajemen mutu terpadu.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan peserta didik nantinya, maka pengembangan kurikulum tidak bisa dikerjakan sembarangan.

Di samping itu, program pendidikan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi. Oleh karena itu, kurikulum sekarang harus dirancang oleh guru bersama masyarakat pemakai.

Untuk bisa merancang kurikulum yang demikian, guru harus memiliki peranan yang amat sentral. Oleh karena itu pula, kompetensi manajemen pengembangan kurikulum perlu dimiliki oleh setiap guru di samping kompetensi teori belajar.

Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan.

Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan.

Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara. Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan.

Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar